Saat melarikan
diri selalu menjadi pilihan terakhirku.
Satu
tahun lalu, Tuhan dengan segala kesengajaannya mempertemukan kita di sini. Ketika
itu, kamu tengah menggantikan Mrs. Dina yang sedang cuti melahirkan. Kamu
mengajar bahasa Inggris ditempat kursus ini untuk sementara.
Perasaan
senang tergambar jelas pada sebagian besar siswa kursus, yang mayoritas
perempuan. Bagaimana tidak, ketika tutor yang dianggap ‘musuh’ sedang cuti,
mereka malah dihadiahi tutor pengganti yang nyaman untuk diamati. Ah, ketika
mata melihat pemandanagn indah, hati juga akan turut merekah, bukan? Maka dari
itu, kelas kursus bahasa Inggris yang biasanya menjadi sasaran untuk membolos
bagi teman-teman, sekarang hampir selalu terisi penuh.
Ganteng,
berbakat dan kelihatannya masih muda. Ya, siapa siswa yang tidak mengangumimu
dikelas ini kala itu? Kecuali aku dan mungkin beberapa anak laki-laki yang
malah merasa risih karena takut tersaingi. Pada pertemuan pertama saja, kamu
sudah merenggut begitu banyak perhatian dari mereka. Ah, mungkin aku juga akan
begitu kalau saja wajahmu tidak teramat ‘China’. Mata sipit yang khas dan kulit
putih itu justru membuatku tidak tertarik.
Pada
pertemuan kedua, aku mendengarkan segerombol anak perempuan membicarakanmu.
Mereka bilang, kamu bahkan masih seorang mahasiswa. Tapi, kamu sudah dipilih
untuk menjadi tutor pengganti ditempat kursus sebesar ini. Hebat. Ada sedikit
kekaguman yang menelusup pada diriku. Hanya sedikit. Boleh dibilang, ini
diskriminasi terhadap orang China. Entah kenapa, aku sendiri tidak tahu. Aku
hanya tidak terlalu suka dengan orang China, itu saja. Maaf bila saat itu aku
terlalu menghakimi ras-mu.
“Pak Michael
kok lama ya?” Linda yang duduk dibangku paling depan mengeluh. Beberapa anak
tampak cemas karena kamu tak kunjung menampakkan batang hidung.
“Alah,
biasanya kalau tutor telat senengnya minta
ampun, sekarang pakek ngeluh segala!”
sebuah ungkapan jujur keluar dari mulut Roni.
“Huuuuu,
yang ini beda tauk! Special pakek telur!” balas Linda dan
gerombolannya.
Aku
hanya diam menyaksikan teman-temanku adu mulut. Rasanya tidak terlalu penting
untuk ikut terlibat didalamnya.
Seseorang
yang ternyata kamu membuka pintu, membuat ruangan seketika hening. Kamu
menyampaikan penyesalan atas keterlambatanmu. Dan seluruh siswa kompak
memafkanmu.
Sebenarnya
aku benci bahasa Inggris. Tapi mau bagaimana lagi, bahasa Inggris sudah
termasuk dalam salah satu pelajaran dipaket kursus yang diambil oleh Ibu
untukku. Biaya kursus yang tidak murah memaksaku untuk tetap masuk dan tidak
membolos sebagai tanda penghormatan padanya.
Kamu
sedang menjelaskan, aku lebih suka menggambar dari pada memperhatikan. Sialnya,
kamu menyadari hal itu.
“Hei, you. Can you answer the question?”
Kamu
mengarahkan pandangan padaku. Aku menoleh kebelakang, memastikan siapa yang
sedang kamu ajak bicara.
“Yang
saya maksud kamu, cewek yang pakai jilbab.” Katanya menegaskan.
Ini
adalah pertama kalinya aku menyadarai bahwa akulah satu-satunya perempuan
berjilbab kelas kursus ini. Dengan ragu aku bertanya, “Me?”
“Yes you. What’s your name?”
“Liana,”
Mulai
dari situ aku menjadi benar-benar membenci keturunan China. Kamu membuatku
ditertawakan oleh seluruh penghuni kelas. Menyindirku dengan mengatakan, ‘Kalau ikut kursus ini berarti mau belajar
bahasa inggris. Kalau mau jago gambar ya kursus menggambar saja!’. Dan
seperti orang yang mempunyai mainan baru, kamu selalu menjadikanku sebagai bahan
tunjukan dan pembicaran dikelas.
Hah, kelasmu semakin menyebalkan bagiku. Semakin banyak dorongan dan
godaan untuk tidak mengikutinya. China sipit seperti kamu, yang sebenarnya
cukup tampan dan pantas dikagumi, kenapa bisa se-menjengkelkan itu. Bahkan aku
berdo’a agar Mrs. Dina segera kembali. Walaupun orangnya menyeramkan, tapi toh
beliau tidak pernah menyudutkan salah satu muridnya.
Hari
berganti, aku masih membencimu. Sampai kita dipertemukan lagi oleh Tuhan pada
dunia lainnya, dunia maya. Kamu lebih menyenangkan disini, tapi masih menyebalkan
didunia nyata. Lewat percakapan-percakapan singkat kita, aku mulai mengenal
kepribadianmu. Kamu sempat meminta maaf karena selalu membuatku seolah menjadi
pupuk bawang dikelas. Aku mulai paham, itu adalah salah satu caramu untuk
membuat teman-teman dikelas menyukai pelajaranmu dan agar aku mau belajar. Pada
akhirnya tokohmu menjadi sosok baik dimataku. Perlahan-lahan, aku tidak peduli
pada wajah China-mu.
Kedekatan
kita semakin nampak. Tidak ada yang menyadari itu ditempat kursus, lagi pula
sejak awal aku memang yang paling dekat denganmu disana. Tentu saja, karena
kamu selalu memilihku untuk menjawab
soal. Tapi diluar itu, kedekatan kita bukanlah kedekatan seorang totur dengan
muridnya, ini lain. Apalagi tak lama setelah itu, kamu sudah tidak menjadi
tutorku lagi. Kita resmi mempunyai gelar yang orang sering bilang; Pacar.
Tapi
aku mulai meragu. Saat menyadari sesuatu yang sebenarnya sudah ku sadari sejak
awal. Kita sama-sama mempercayai bahwa Tuhan hanya satu, tapi kita mempunyai
Tuhan yang berbeda. Kamu China! Yang setiap minggu pergi ke gereja.
“Aku
tidak bisa. Ibu melarangku berpacaran denganmu,” sambil berbicara, aku tidak
berani menatap matanya.
“Kenapa?”
“Karena
kamu China, karena kamu ke gereja.”
“Lalu
kenapa? Karena kamu ke masjid? Karena kamu wanita Jawa?”
“Ya.”
Aku tidak pernah suka berdebat. Kamu tahu itu.
“Ada
banyak sekali pasangan seperti kita diluar sana. Dan mereka masih baik-baik
saja, kenapa kita harus mempermasalahkan?”
“Karena
mereka bukan kita!” cairan bening mulai menghiasi mataku. “Aku mau pulang,”.
Kamu
tidak menahanku. Membiarkanku meninggalkanmu ditaman kota sore itu. Dan
setelahnya, kita tidak berhubungan.
Dua
minggu setelah kejadian menyakitkan itu, kamu berkunjung di rumahku. Aku tidak
tahu apa yang kamu pikirkan. Padahal kamu jelas tahu bahwa Ibuku tidak
menyukaimu, tapi kamu tetap melakukannya. Beruntung, Ibu tidak bilang apa-apa
saat kamu memintaku untuk menemanimu menikmati senja, sedang aku menurut saja.
“Em,
kamu kok gak ke gereja?” sedikit takut, tapi aku memutuskan untuk bertanya.
“Aku
tidak beribadah di gereja lagi.” Ucapmu enteng.
Aku
terbelalak. Bingung. Tidak begitu paham dengan maksud dari ucapanmu.
“Maksud
kamu tidak beribadah di gereja lagi?”
“Kamu
tidak bisa dengan orang yang kegereja. Jadi aku mempelajari agamamu. Tuhan kita
satu, sekarang.”
Aku
tidak berkomentar, kamu tahu aku keget sehingga kamu pun membiarkanku diam.
Keinginan kita berdua untuk bersama sekarang terwujud akibat pengorbananmu.
Di
masa itu, kita bahagia. Tidak ada lagi keraguan yang mengambang diotak dan
hatiku. Ini bertahan untuk beberapa minggu. Sampai pada suatau minggu yang
teduh, kamu merusak segalanya. Menunjukkan padaku betapa tidak konsistennya
dirimu. Mempermainkan aku, bahkan Tuhanmu. Aku melihatmu sedang merapatkan
tangan, dibawah patung Yesus yang disalib. Kamu
bahkan masih ke gereja.
Tidak masalah apa pendidikanmu, pekerjaanmu, tapi ini
masalah yang menyangkut Tuhan. Fatal. Pada titik itu, aku mulai goyah pada keyakinanku. Ketika Tuhanmu dan Tuhanku, sepakat untuk
mempertemukan kita, sudah ada scenario dibaliknya. Dan aku memilih untuk
melarikan diri, bersembunyi darimu. Menghindari perdebatan tentang Tuhan yang
harusnya tidak pantas kita lakukan.
15 Maret 2013
Untuk Alifa Rahmadia Putri