Archive for Mei 2013

Akhir Perjalanana Sepotong Rindu


.



Lanjutan dari Perjalanan Sepotong Rindu

Terperangkap pada sebuah lorong waktu, pengap. Ini membosankan membolak balik ingatan pada kejadian yang sama. Aku mencari pintu mesin waktu dan menemukan diriku berada dalam dimensi yang entah apa namanya. Disini kosong, seperti berada dalam sebuah studio yang seluruh permukannya berwarna putih. Terkesan hampa, tapi tidak. Hukum fisika yang mengatakan bahwa udara memenuhi ruangan masih berlaku pada tempat ini. Dan karena kekosongan ini, aku jenuh.
Berusaha mengendalikan mesin waktu kembali. Ya, karena aku adalah seorang pengendara waktu. Menjelajahi waktu demi waktu di masa lalu demi menemukan sesuatu, yang pada akhirnya memang ku temukan. Bahkan telah berhasil kuabadikan di dalam sebuah toples kaca. Tapi ini menjadi tidak menarik ketika aku bisa melihatnya setiap hari. Melihatmu dan aku, atau yang dulu kau sebut kita, dalam kemasan masa lalu.
Mesin waktu ini rusak, mungkin perlu beberapa waktu untuk memperbaikinya. Dan yang bisa memperbaikinya hanya pengendara waktu itu sendiri, aku. Ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun aku menjabat sebagai pengendara waktu. Selama ini, aku telah berputar-putar mengulangi masa ke masa yang sama. Terjebak di beberapa dimensi yang sama dan sayangnya tidak tahu bagaimana cara untuk keluar. Terperosok pada dimensi lain seperti ini sebenarnya membuatku sedikit senang. Setidaknya, ada warna lain yang dapat kusaksikan. Tapi kemudian, berdiri disini sendirian dalam kekosongan juga membuatku tersadar bahwa ini bukan tempatku.
Sekarang aku rindu, pada keadaan dimana aku merindukanmu. Masa lalu membuatku terus melihatmu, hingga aku tidak mengetahui hal lain. Kalau begini, ternyata kau juga berkamuflase menjadi makhluk membosankan dimataku.
            Perjalanan sepotong rindu-ku, berakhir disini. Pada sebuah waktu yang disebut ‘sekarang’ dan ingin menjajaki waktu bernama ‘masa depan’.





Menemukan,
14 Februari 2013

SKENARIO TUHAN


.



Saat melarikan diri selalu menjadi pilihan terakhirku.

            Satu tahun lalu, Tuhan dengan segala kesengajaannya mempertemukan kita di sini. Ketika itu, kamu tengah menggantikan Mrs. Dina yang sedang cuti melahirkan. Kamu mengajar bahasa Inggris ditempat kursus ini untuk sementara.
            Perasaan senang tergambar jelas pada sebagian besar siswa kursus, yang mayoritas perempuan. Bagaimana tidak, ketika tutor yang dianggap ‘musuh’ sedang cuti, mereka malah dihadiahi tutor pengganti yang nyaman untuk diamati. Ah, ketika mata melihat pemandanagn indah, hati juga akan turut merekah, bukan? Maka dari itu, kelas kursus bahasa Inggris yang biasanya menjadi sasaran untuk membolos bagi teman-teman, sekarang hampir selalu terisi penuh.
            Ganteng, berbakat dan kelihatannya masih muda. Ya, siapa siswa yang tidak mengangumimu dikelas ini kala itu? Kecuali aku dan mungkin beberapa anak laki-laki yang malah merasa risih karena takut tersaingi. Pada pertemuan pertama saja, kamu sudah merenggut begitu banyak perhatian dari mereka. Ah, mungkin aku juga akan begitu kalau saja wajahmu tidak teramat ‘China’. Mata sipit yang khas dan kulit putih itu justru membuatku tidak tertarik.
            Pada pertemuan kedua, aku mendengarkan segerombol anak perempuan membicarakanmu. Mereka bilang, kamu bahkan masih seorang mahasiswa. Tapi, kamu sudah dipilih untuk menjadi tutor pengganti ditempat kursus sebesar ini. Hebat. Ada sedikit kekaguman yang menelusup pada diriku. Hanya sedikit. Boleh dibilang, ini diskriminasi terhadap orang China. Entah kenapa, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tidak terlalu suka dengan orang China, itu saja. Maaf bila saat itu aku terlalu menghakimi ras-mu.
            “Pak Michael kok lama ya?” Linda yang duduk dibangku paling depan mengeluh. Beberapa anak tampak cemas karena kamu tak kunjung menampakkan batang hidung.
            “Alah, biasanya kalau tutor telat senengnya minta ampun, sekarang pakek ngeluh segala!” sebuah ungkapan jujur keluar dari mulut Roni.
            “Huuuuu, yang ini beda tauk! Special pakek telur!” balas Linda dan gerombolannya.
            Aku hanya diam menyaksikan teman-temanku adu mulut. Rasanya tidak terlalu penting untuk ikut terlibat didalamnya.
            Seseorang yang ternyata kamu membuka pintu, membuat ruangan seketika hening. Kamu menyampaikan penyesalan atas keterlambatanmu. Dan seluruh siswa kompak memafkanmu.
            Sebenarnya aku benci bahasa Inggris. Tapi mau bagaimana lagi, bahasa Inggris sudah termasuk dalam salah satu pelajaran dipaket kursus yang diambil oleh Ibu untukku. Biaya kursus yang tidak murah memaksaku untuk tetap masuk dan tidak membolos sebagai tanda penghormatan padanya.
            Kamu sedang menjelaskan, aku lebih suka menggambar dari pada memperhatikan. Sialnya, kamu menyadari hal itu.
            Hei, you. Can you answer the question?”
            Kamu mengarahkan pandangan padaku. Aku menoleh kebelakang, memastikan siapa yang sedang kamu ajak bicara.
            “Yang saya maksud kamu, cewek yang pakai jilbab.” Katanya menegaskan.
            Ini adalah pertama kalinya aku menyadarai bahwa akulah satu-satunya perempuan berjilbab kelas kursus ini. Dengan ragu aku bertanya, “Me?”
            “Yes you. What’s your name?”
            “Liana,”
            Mulai dari situ aku menjadi benar-benar membenci keturunan China. Kamu membuatku ditertawakan oleh seluruh penghuni kelas. Menyindirku dengan mengatakan, ‘Kalau ikut kursus ini berarti mau belajar bahasa inggris. Kalau mau jago gambar ya kursus menggambar saja!’. Dan seperti orang yang mempunyai mainan baru, kamu selalu menjadikanku sebagai bahan tunjukan dan pembicaran dikelas.
            Hah, kelasmu semakin menyebalkan bagiku. Semakin banyak dorongan dan godaan untuk tidak mengikutinya. China sipit seperti kamu, yang sebenarnya cukup tampan dan pantas dikagumi, kenapa bisa se-menjengkelkan itu. Bahkan aku berdo’a agar Mrs. Dina segera kembali. Walaupun orangnya menyeramkan, tapi toh beliau tidak pernah menyudutkan salah satu muridnya.
            Hari berganti, aku masih membencimu. Sampai kita dipertemukan lagi oleh Tuhan pada dunia lainnya, dunia maya. Kamu lebih menyenangkan disini, tapi masih menyebalkan didunia nyata. Lewat percakapan-percakapan singkat kita, aku mulai mengenal kepribadianmu. Kamu sempat meminta maaf karena selalu membuatku seolah menjadi pupuk bawang dikelas. Aku mulai paham, itu adalah salah satu caramu untuk membuat teman-teman dikelas menyukai pelajaranmu dan agar aku mau belajar. Pada akhirnya tokohmu menjadi sosok baik dimataku. Perlahan-lahan, aku tidak peduli pada wajah China-mu.
            Kedekatan kita semakin nampak. Tidak ada yang menyadari itu ditempat kursus, lagi pula sejak awal aku memang yang paling dekat denganmu disana. Tentu saja, karena kamu selalu memilihku untuk  menjawab soal. Tapi diluar itu, kedekatan kita bukanlah kedekatan seorang totur dengan muridnya, ini lain. Apalagi tak lama setelah itu, kamu sudah tidak menjadi tutorku lagi. Kita resmi mempunyai gelar yang orang sering bilang; Pacar.
            Tapi aku mulai meragu. Saat menyadari sesuatu yang sebenarnya sudah ku sadari sejak awal. Kita sama-sama mempercayai bahwa Tuhan hanya satu, tapi kita mempunyai Tuhan yang berbeda. Kamu China! Yang setiap minggu pergi ke gereja.
            “Aku tidak bisa. Ibu melarangku berpacaran denganmu,” sambil berbicara, aku tidak berani menatap matanya.
            “Kenapa?”
            “Karena kamu China, karena kamu ke gereja.”
            “Lalu kenapa? Karena kamu ke masjid? Karena kamu wanita Jawa?”
            “Ya.” Aku tidak pernah suka berdebat. Kamu tahu itu.        
            “Ada banyak sekali pasangan seperti kita diluar sana. Dan mereka masih baik-baik saja, kenapa kita harus mempermasalahkan?”
            “Karena mereka bukan kita!” cairan bening mulai menghiasi mataku. “Aku mau pulang,”.
            Kamu tidak menahanku. Membiarkanku meninggalkanmu ditaman kota sore itu. Dan setelahnya, kita tidak berhubungan.
            Dua minggu setelah kejadian menyakitkan itu, kamu berkunjung di rumahku. Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Padahal kamu jelas tahu bahwa Ibuku tidak menyukaimu, tapi kamu tetap melakukannya. Beruntung, Ibu tidak bilang apa-apa saat kamu memintaku untuk menemanimu menikmati senja, sedang aku menurut saja.
            “Em, kamu kok gak ke gereja?” sedikit takut, tapi aku memutuskan untuk bertanya.
            “Aku tidak beribadah di gereja lagi.” Ucapmu enteng.
            Aku terbelalak. Bingung. Tidak begitu paham dengan maksud dari ucapanmu.
            “Maksud kamu tidak beribadah di gereja lagi?”
            “Kamu tidak bisa dengan orang yang kegereja. Jadi aku mempelajari agamamu. Tuhan kita satu, sekarang.”
            Aku tidak berkomentar, kamu tahu aku keget sehingga kamu pun membiarkanku diam. Keinginan kita berdua untuk bersama sekarang terwujud akibat pengorbananmu.
            Di masa itu, kita bahagia. Tidak ada lagi keraguan yang mengambang diotak dan hatiku. Ini bertahan untuk beberapa minggu. Sampai pada suatau minggu yang teduh, kamu merusak segalanya. Menunjukkan padaku betapa tidak konsistennya dirimu. Mempermainkan aku, bahkan Tuhanmu. Aku melihatmu sedang merapatkan tangan, dibawah patung Yesus yang disalib. Kamu  bahkan masih ke gereja.
            Tidak masalah apa pendidikanmu, pekerjaanmu, tapi ini masalah yang menyangkut Tuhan. Fatal. Pada titik itu, aku mulai goyah pada keyakinanku.  Ketika Tuhanmu dan Tuhanku, sepakat untuk mempertemukan kita, sudah ada scenario dibaliknya. Dan aku memilih untuk melarikan diri, bersembunyi darimu. Menghindari perdebatan tentang Tuhan yang harusnya tidak pantas kita lakukan.



15 Maret 2013
Untuk Alifa Rahmadia Putri