Archive for 2013

Surat


.



Untuk Tuan Melankolis.
                Hai, aku tahu aku tidak akan pernah bisa menyampaikan ini secara langsung. Maka, aku ingin kamu membaca ini.
                Mungkin ini akan menjadi terakhir kali aku menyebutmu Tuan Melankolis. Rasanya, untuk sekarang, sebutan itu sudah tidak berlaku lagi. Masing-masing dari kita sudah berubah, ya?
                Em, kamu tahu? butuh keberanian untuk menulis ini. Aku berusaha agar mataku tidak bengkak pagi ini. Aku akan berusaha untuk melupakanmu. Meskipun aku tahu ini tidak akan mudah, tapi tenang saja, aku akan berusaha. Tidak akan sakit, rasa sakit hanya akan bertahan untuk beberapa hari saja. Selanjutnya, aku akan jatuh cinta lagi dengan orang lain. Dan, bahagia tentu saja. Seharusnya ini mudah.
                Tapi maaf, sepertinya aku butuh sedikit waktu untuk menormalkan rasaku. Jadi, jangan marah saat aku tidak menyapamu ketika kita bersisipan. Jangan tersinggung saat aku mengacuhkanmu. Jangan merasa bersalah saat aku menganggapmu sebagai orang lain. Mencintai bisa dipelajari, tapi melupakan itu lebih sulit.
                Maaf. Aku tidak pernah bermaksud membuat hubungan kita jadi sulit. Aku tidak pernah bermaksud merusak persahabatan kita. Cinta hanya jatuh begitu saja bukan? Tanpa aba-aba. Jadi, mari kita tetap menjadi sahabat. Seperti hari-hari sebelumnya. Jauh sebelum ini. Ketika kita masih sering berbagi cerita tanpa kecanggungan, tanpa celah, tanpa sekat.
                Masih ingat saat pertama kali kamu tahu tentang perasaanku? Lewat blog ini juga, kan? Saat itu aku benar-benar tidak bermaksud mempublikasikannya. Aku hanya tidak sengaja, tapi ternyata kamu mebacanya. Dan saat kamu mempertanyakan itu padaku. Kamu tidak tahu betapa gugup dan malunya aku. Aku tidak tahu harus membalas apa. Aku bahkan menelfon semua teman yang tahu tentang rahasiaku itu. Sayangnya, itu sudah malam, tidak ada yang mengangkat telfonku. Mungkin mereka sudah tidur.
                Kali ini, aku tidak akan menelfon siapapun saat aku mengetahui kamu sudah membaca ini. Kerana aku memang sengaja memintamu membacanya. Oh iya, maaf kalau aku membuatmu membuang waktu dengan membaca ini.
                Aku pikir, kamu akan merasa bersalah setelah membaca ini. Kamu selalu begitu ya? Jangan merasa bersalah. Sudah kubilang aku yang memulai ini. Aku yang membuat semua ini menjadi berantakan. Jadi, anggap saja ini salahku. Aku yang selalu menyalah artikan kedekatan kita.
                Aku yang bodoh kok. Kamu benar, seseorang tidak akan pernah merasa mendapat harapan palsu kalau dia tidak mengaharapkan. Aku yang berharap. Bahkan setelah kamu menyembunyikan statusmu dengan seseorang dari sekolah sebelah, aku masih berharap. Dengan lancang aku masih percaya bahwa semua yang kamu lakukan padaku berbeda, istimewa. Maaf. Bahkan sampai kemarin, aku masih percaya dengan apa yang sempat kamu katakana pada Dewi
                Sampai semalam, aku tahu kalau hubungan kita tidak akan menjadi lebih. Dan, semua perlakuanmu padaku itu hanya karena aku sahabatmu. Mungkin kamu benar-benar menyayangiku sebagai sahabat ya, hehe :p
                Terima kasih sudah mengisi puluhan kertas kosongku dan menjadikan mereka berarti. Terima kasih sudah menjadi inspirasi.
                Kamu pernah janji tidak akan memandangku seperti orang lain bukan? Karena untuk sementara waktu ini mungkin aku akan berpura-pura tidak mengenalmu, aku akan melupakan janji itu. Sepertinya dengan begitu akan lebih mudah juga untukmu. Maaf, aku banyak menyusahkanmu. Membuat posisimu menjadi sulit dan serba salah.
                Kita akan tetap menjadi sahabat. Aku tidak akan merusak ini. Aku tidak ingin kehilangan sahabat sepertimu. Aku hanya butuh waktu.
PS: Jangan ragu, dia menyukaimu. Dia bahkan sudah pernah mengatakan ini pada sahabatku (yang juga sahabatnya) sebelum ini ;) {()}

Spasi


.



           
Aku tidak tahu sampai kapan aku harus menunggu. Yang pasti, ini sudah lama sekali. Tapi kamu tak kunjung datang. Sedang aku tetap tidak bisa menghapusmu. Dan aku takut, suatu saat aku akan jenuh dengan semua ini. Bosan menunggu, bahkan sebelum kamu membalas rasaku.
            *
           
Hy Ji, I miss your text :(
            Aku menggenggam erat Hp layar sentuh kesayanganku. Berulang-ulang, kubaca kalimat pendek yang tertera dilayarnya yang mulai meredup. Sebuah pesan singkat yang beberapa hari lalu kubuat. Yang bahkan hingga sekarang hanya mampu bersarang di file konsep. Tidak pernah terkirim.
            Aku terbiasa menyimpannya untuk diriku sendiri. Menikmatinya dalam sepi. Padahal aku tahu, semua itu tidak akan mengubah apapun. Kadang, diam adalah pilihan terbaik. Ya, dalam hal-hal tertentu, begitulah menurutku.
            Layar Hp-ku sudah benar-benar redup sekarang. Aku membiarkannya tergeletak di atas meja belajar, bersama beberapa buku yang berserakan. Biasanya, jam-jam ini adalah waktu yang paling ku tunggu dan paling kunikmati dari 24 jam kehidupanku dalam sehari. Dimana kami saling berbagi cerita, bertukar pikiran, atau hanya sekedar bercanda. Memang, ini hanyalah percakapan melalui pesan singkat, tapi aku menikmatinya.
            Masih tidak bergetar ya,’ gumamku sendiri.
            Ku rebahkan tubuhku pada padang bunga matahari yang tergambar di seprai kasurku. Setelah seharian bergelut dengan pelajaran, ini terasa nyaman sekali. Ku biarkan diriku tenggelam dalam kekosongan.
            Deeerrrt… deeerrrt… deeerrrt…
            Bergetar! Sontak, aku bangun dari zona nyamanku. Sesegera mungkin menyambar Hp. Agak menahan nafas saat melihat siapa yang mengirimkan pesan.
            “Arrrrrgh!” aku mendengus kesal.
            Kenapa operator harus megirim pesan disaat seperti ini? Menyebalkan.
            Aku mengembalikan Hp-ku ketempat semula. Ah tidak, mungkin, melemparnya ketempat semula adalah kalimat yang lebih tepat. Kemudian, aku sudah terlelap. Dan, saat aku mengecek Hp dipagi harinya, tidak ada pesan.
            Ini yang selalu ku takutkan. Saat Ji dan aku menjadi renggang. Sudah beberapa hari ini dia tidak mengirim pesan singkat padaku. Sedangkan aku, tidak pernah berani untuk menghubunginya terlebih dahulu. Kolot kah? Ya, mungkin. Sebenarnya, menurut orang lain, ini tidak akan menjadi masalah jika aku yang menghubunginya terlebih dahulu. Karena kami bersahabat. Itu benar, tapi hubungan kami sedikit agak berbeda. Ini yang membuat aku kehilangan nyali. Karena aku lah yang membuat hubungan kami menjadi sulit.
            Beberapa minggu lalu, aku mengunggah sebuah tulisan ke blog pribadiku. Tulisan yang semestinya tidak untuk dipublikasikan. Tentang perubahan perasaanku pada Ji. Mengenai Ji yang semakin sering berkelebat dalam pikiranku. Aku yang selama ini diam-diam, mencintai Ji. Aku yang sebenarnya menunggu Ji membalas rasaku. Tentang ketakutanku akan kehilangan Ji. Dan, tanpa pernah ku ketahui, Ji ternyata adalah pembaca setia blog pribadiku.
‘Mai?’ pesan ini mendarat di Hp-ku satu jam setelah aku mem-posting tulisan itu di blog.
            ‘Ya?’
            ‘Boleh Tanya?’
            Saat itu, ku pikir dia akan menanyakan hal yang sudah biasa ditanyakannya. Seperti, ‘sudah ulangan kimia?’ Atau hal-hal umum yang biasa kami bicarakan. Jadi, aku menjawab pesannya dengan biasa juga, ‘Tanya aja..’
            Tentang tulisan di blog-mu itu……’
            Pada titik itu, aku sadar apa yang akan menjadi topic pembicaraan kami selanjutnya. Aku hampir memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Tapi ini akan lebih terkesan aneh. Seperti orang bodoh, aku berpura-pura tidak tahu apa-apa. Mencoba menanggapi sebiasa mungkin untuk menutupi kegugupanku.
            ‘Kenapa?’ ku putuskan untuk menjawab dengan singkat.
            ‘Yang judulnya Kamu?’
            Kali ini aku menenggelamkan kepalaku dibawah bantal. Rasanya kepalaku memanas. Aku malu, benar-benar malu. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi.
            ‘Iya, kenapa?’
            ‘Em, ditulisan itu kamu bilang kalau kamu nggak pengen tokoh ‘kamu’ itu tahu. kalau ternyata dia tahu gimana?’
            Aku menggigit jari, pasrah.
            ‘Ya sudah, kalau sudah terlanjur tahu, mau bagaimana lagi?’ jawabku sok tenang.
            ‘Oh, eh aku ngantuk mau tidur. Da!’
            Aku tahu dia belum mengantuk. Aku tahu dia hanya berpura-pura. Aku tahu, dia sudah menyadari perasaanku.
            Masih ku simpan pesan itu. Juga pesan-pesan lama dari Ji. Kadang, iseng-iseng ku baca ulang mereka. Lalu, aku akan tertawa sendiri, tersenyum geli, manyun, terharu, atau bahkan menangis. Seperti orang gila.
            Aku dan Ji. Aku lupa kapan kami pertama bertemu. Yang pasti, itu sekitar dua tahun lalu. Aku juga tidak ingat kapan kami menjadi akrab. Tahu-tahu, kami sudah dekat. Sangat dekat. Tiba-tiba, aku menjadi terbiasa dengan adanya Ji dalam kehidupanku. Kami mengenal baik satu sama lain. Bahkan Ji tahu detail jam berapa aku mulai merasa ngantuk. Begitu juga aku, yang hampir tahu semua tentang Ji.
            Awalnya, aku merasa persaanku ini hanya akan berlangsung sesaat saja. Tapi aku salah, sampai saat ini aku masih membawa rasa itu. Bahkan aku sempat berpikir, perlahan-lahan dia juga akan merasakan hal yang sama denganku. Tapi kami sudah terlanjur akrab sebagai seorang sahabat.
            Banyak orang mengatakan, akan lebih mudah bagi kita jika kita jatuh cinta pada sahabat sendiri. Ah, benarkah? Kenapa aku justru merasa aneh, canggung. Aku takut rasa ini akhirnya menjadi alat penghancur bagi persahabatan kami. Maka, ku putuskan untuk menghindari Ji. Ah, aku sendiri yang menghindar, tapi aku juga yang merindu. Saat ini, Ji tidak salah. Aku yang memintanya untuk tidak menghubungiku. Jujur, saat mengatakan itu, aku berharap Ji akan menolak dan memintaku untuk tidak mengacuhkannya lagi. Ji memang sempat menyatakan ketidak setujuannya dengan permintaanku. Tapi akhirnya, dia menurut.
            ‘Jangan menganggapku seperti orang asing,’
            Aku memang bersikap seolah tidak mengenalnya saat bersisipan disekolah.
            ‘Aku tidak memandangmu seperti orang asing,’ jawabku. Bohong.
            ‘Tapi aku mersakannya!’
            ‘Maaf…’
            ‘Terserah kamu, yang penting aku tidak akan pernah menganggap kamu sebagai orang asing.’
            Lagi-lagi, aku membaca percakapan lama kami dalam pesan singkat yang masih ku simpan.
            Walau sepertinya aku menghindarinya, sebenarnya aku memperhatikannya dari jauh. Meskipun aku memintanya untuk menjauhiku, sebenarnya aku ingin dia menolak dan tetap berada didekatku. Biarpun aku bersikap bodoh seperti itu, aku tetap menunggunya. Kalaupun aku berkata akan menghapusnya, sebenarnya aku takut kehilangannya.
            Ji, ada jarak yang sangat sempit, seperti spasi diantara kita. Yang menyebabkan kita tidak bisa saling menggenggam walau sangat dekat.
            *
Pernah suatu hari dalam keremangan hujan.
Ji          : Apa yang kamu rasakan?
(Mai    : Aku menyukaimu.)
Mai      : Apa yang kamu rasakan?
Ji          : Yang kurasakan sama seperti yang kamu    rasakan*


*Dalam rintik gerimis Desember 2013
Alinur Awwalina

Akhir Perjalanana Sepotong Rindu


.



Lanjutan dari Perjalanan Sepotong Rindu

Terperangkap pada sebuah lorong waktu, pengap. Ini membosankan membolak balik ingatan pada kejadian yang sama. Aku mencari pintu mesin waktu dan menemukan diriku berada dalam dimensi yang entah apa namanya. Disini kosong, seperti berada dalam sebuah studio yang seluruh permukannya berwarna putih. Terkesan hampa, tapi tidak. Hukum fisika yang mengatakan bahwa udara memenuhi ruangan masih berlaku pada tempat ini. Dan karena kekosongan ini, aku jenuh.
Berusaha mengendalikan mesin waktu kembali. Ya, karena aku adalah seorang pengendara waktu. Menjelajahi waktu demi waktu di masa lalu demi menemukan sesuatu, yang pada akhirnya memang ku temukan. Bahkan telah berhasil kuabadikan di dalam sebuah toples kaca. Tapi ini menjadi tidak menarik ketika aku bisa melihatnya setiap hari. Melihatmu dan aku, atau yang dulu kau sebut kita, dalam kemasan masa lalu.
Mesin waktu ini rusak, mungkin perlu beberapa waktu untuk memperbaikinya. Dan yang bisa memperbaikinya hanya pengendara waktu itu sendiri, aku. Ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun aku menjabat sebagai pengendara waktu. Selama ini, aku telah berputar-putar mengulangi masa ke masa yang sama. Terjebak di beberapa dimensi yang sama dan sayangnya tidak tahu bagaimana cara untuk keluar. Terperosok pada dimensi lain seperti ini sebenarnya membuatku sedikit senang. Setidaknya, ada warna lain yang dapat kusaksikan. Tapi kemudian, berdiri disini sendirian dalam kekosongan juga membuatku tersadar bahwa ini bukan tempatku.
Sekarang aku rindu, pada keadaan dimana aku merindukanmu. Masa lalu membuatku terus melihatmu, hingga aku tidak mengetahui hal lain. Kalau begini, ternyata kau juga berkamuflase menjadi makhluk membosankan dimataku.
            Perjalanan sepotong rindu-ku, berakhir disini. Pada sebuah waktu yang disebut ‘sekarang’ dan ingin menjajaki waktu bernama ‘masa depan’.





Menemukan,
14 Februari 2013

SKENARIO TUHAN


.



Saat melarikan diri selalu menjadi pilihan terakhirku.

            Satu tahun lalu, Tuhan dengan segala kesengajaannya mempertemukan kita di sini. Ketika itu, kamu tengah menggantikan Mrs. Dina yang sedang cuti melahirkan. Kamu mengajar bahasa Inggris ditempat kursus ini untuk sementara.
            Perasaan senang tergambar jelas pada sebagian besar siswa kursus, yang mayoritas perempuan. Bagaimana tidak, ketika tutor yang dianggap ‘musuh’ sedang cuti, mereka malah dihadiahi tutor pengganti yang nyaman untuk diamati. Ah, ketika mata melihat pemandanagn indah, hati juga akan turut merekah, bukan? Maka dari itu, kelas kursus bahasa Inggris yang biasanya menjadi sasaran untuk membolos bagi teman-teman, sekarang hampir selalu terisi penuh.
            Ganteng, berbakat dan kelihatannya masih muda. Ya, siapa siswa yang tidak mengangumimu dikelas ini kala itu? Kecuali aku dan mungkin beberapa anak laki-laki yang malah merasa risih karena takut tersaingi. Pada pertemuan pertama saja, kamu sudah merenggut begitu banyak perhatian dari mereka. Ah, mungkin aku juga akan begitu kalau saja wajahmu tidak teramat ‘China’. Mata sipit yang khas dan kulit putih itu justru membuatku tidak tertarik.
            Pada pertemuan kedua, aku mendengarkan segerombol anak perempuan membicarakanmu. Mereka bilang, kamu bahkan masih seorang mahasiswa. Tapi, kamu sudah dipilih untuk menjadi tutor pengganti ditempat kursus sebesar ini. Hebat. Ada sedikit kekaguman yang menelusup pada diriku. Hanya sedikit. Boleh dibilang, ini diskriminasi terhadap orang China. Entah kenapa, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tidak terlalu suka dengan orang China, itu saja. Maaf bila saat itu aku terlalu menghakimi ras-mu.
            “Pak Michael kok lama ya?” Linda yang duduk dibangku paling depan mengeluh. Beberapa anak tampak cemas karena kamu tak kunjung menampakkan batang hidung.
            “Alah, biasanya kalau tutor telat senengnya minta ampun, sekarang pakek ngeluh segala!” sebuah ungkapan jujur keluar dari mulut Roni.
            “Huuuuu, yang ini beda tauk! Special pakek telur!” balas Linda dan gerombolannya.
            Aku hanya diam menyaksikan teman-temanku adu mulut. Rasanya tidak terlalu penting untuk ikut terlibat didalamnya.
            Seseorang yang ternyata kamu membuka pintu, membuat ruangan seketika hening. Kamu menyampaikan penyesalan atas keterlambatanmu. Dan seluruh siswa kompak memafkanmu.
            Sebenarnya aku benci bahasa Inggris. Tapi mau bagaimana lagi, bahasa Inggris sudah termasuk dalam salah satu pelajaran dipaket kursus yang diambil oleh Ibu untukku. Biaya kursus yang tidak murah memaksaku untuk tetap masuk dan tidak membolos sebagai tanda penghormatan padanya.
            Kamu sedang menjelaskan, aku lebih suka menggambar dari pada memperhatikan. Sialnya, kamu menyadari hal itu.
            Hei, you. Can you answer the question?”
            Kamu mengarahkan pandangan padaku. Aku menoleh kebelakang, memastikan siapa yang sedang kamu ajak bicara.
            “Yang saya maksud kamu, cewek yang pakai jilbab.” Katanya menegaskan.
            Ini adalah pertama kalinya aku menyadarai bahwa akulah satu-satunya perempuan berjilbab kelas kursus ini. Dengan ragu aku bertanya, “Me?”
            “Yes you. What’s your name?”
            “Liana,”
            Mulai dari situ aku menjadi benar-benar membenci keturunan China. Kamu membuatku ditertawakan oleh seluruh penghuni kelas. Menyindirku dengan mengatakan, ‘Kalau ikut kursus ini berarti mau belajar bahasa inggris. Kalau mau jago gambar ya kursus menggambar saja!’. Dan seperti orang yang mempunyai mainan baru, kamu selalu menjadikanku sebagai bahan tunjukan dan pembicaran dikelas.
            Hah, kelasmu semakin menyebalkan bagiku. Semakin banyak dorongan dan godaan untuk tidak mengikutinya. China sipit seperti kamu, yang sebenarnya cukup tampan dan pantas dikagumi, kenapa bisa se-menjengkelkan itu. Bahkan aku berdo’a agar Mrs. Dina segera kembali. Walaupun orangnya menyeramkan, tapi toh beliau tidak pernah menyudutkan salah satu muridnya.
            Hari berganti, aku masih membencimu. Sampai kita dipertemukan lagi oleh Tuhan pada dunia lainnya, dunia maya. Kamu lebih menyenangkan disini, tapi masih menyebalkan didunia nyata. Lewat percakapan-percakapan singkat kita, aku mulai mengenal kepribadianmu. Kamu sempat meminta maaf karena selalu membuatku seolah menjadi pupuk bawang dikelas. Aku mulai paham, itu adalah salah satu caramu untuk membuat teman-teman dikelas menyukai pelajaranmu dan agar aku mau belajar. Pada akhirnya tokohmu menjadi sosok baik dimataku. Perlahan-lahan, aku tidak peduli pada wajah China-mu.
            Kedekatan kita semakin nampak. Tidak ada yang menyadari itu ditempat kursus, lagi pula sejak awal aku memang yang paling dekat denganmu disana. Tentu saja, karena kamu selalu memilihku untuk  menjawab soal. Tapi diluar itu, kedekatan kita bukanlah kedekatan seorang totur dengan muridnya, ini lain. Apalagi tak lama setelah itu, kamu sudah tidak menjadi tutorku lagi. Kita resmi mempunyai gelar yang orang sering bilang; Pacar.
            Tapi aku mulai meragu. Saat menyadari sesuatu yang sebenarnya sudah ku sadari sejak awal. Kita sama-sama mempercayai bahwa Tuhan hanya satu, tapi kita mempunyai Tuhan yang berbeda. Kamu China! Yang setiap minggu pergi ke gereja.
            “Aku tidak bisa. Ibu melarangku berpacaran denganmu,” sambil berbicara, aku tidak berani menatap matanya.
            “Kenapa?”
            “Karena kamu China, karena kamu ke gereja.”
            “Lalu kenapa? Karena kamu ke masjid? Karena kamu wanita Jawa?”
            “Ya.” Aku tidak pernah suka berdebat. Kamu tahu itu.        
            “Ada banyak sekali pasangan seperti kita diluar sana. Dan mereka masih baik-baik saja, kenapa kita harus mempermasalahkan?”
            “Karena mereka bukan kita!” cairan bening mulai menghiasi mataku. “Aku mau pulang,”.
            Kamu tidak menahanku. Membiarkanku meninggalkanmu ditaman kota sore itu. Dan setelahnya, kita tidak berhubungan.
            Dua minggu setelah kejadian menyakitkan itu, kamu berkunjung di rumahku. Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Padahal kamu jelas tahu bahwa Ibuku tidak menyukaimu, tapi kamu tetap melakukannya. Beruntung, Ibu tidak bilang apa-apa saat kamu memintaku untuk menemanimu menikmati senja, sedang aku menurut saja.
            “Em, kamu kok gak ke gereja?” sedikit takut, tapi aku memutuskan untuk bertanya.
            “Aku tidak beribadah di gereja lagi.” Ucapmu enteng.
            Aku terbelalak. Bingung. Tidak begitu paham dengan maksud dari ucapanmu.
            “Maksud kamu tidak beribadah di gereja lagi?”
            “Kamu tidak bisa dengan orang yang kegereja. Jadi aku mempelajari agamamu. Tuhan kita satu, sekarang.”
            Aku tidak berkomentar, kamu tahu aku keget sehingga kamu pun membiarkanku diam. Keinginan kita berdua untuk bersama sekarang terwujud akibat pengorbananmu.
            Di masa itu, kita bahagia. Tidak ada lagi keraguan yang mengambang diotak dan hatiku. Ini bertahan untuk beberapa minggu. Sampai pada suatau minggu yang teduh, kamu merusak segalanya. Menunjukkan padaku betapa tidak konsistennya dirimu. Mempermainkan aku, bahkan Tuhanmu. Aku melihatmu sedang merapatkan tangan, dibawah patung Yesus yang disalib. Kamu  bahkan masih ke gereja.
            Tidak masalah apa pendidikanmu, pekerjaanmu, tapi ini masalah yang menyangkut Tuhan. Fatal. Pada titik itu, aku mulai goyah pada keyakinanku.  Ketika Tuhanmu dan Tuhanku, sepakat untuk mempertemukan kita, sudah ada scenario dibaliknya. Dan aku memilih untuk melarikan diri, bersembunyi darimu. Menghindari perdebatan tentang Tuhan yang harusnya tidak pantas kita lakukan.



15 Maret 2013
Untuk Alifa Rahmadia Putri