Aku tidak tahu sampai
kapan aku harus menunggu. Yang pasti, ini sudah lama sekali. Tapi kamu tak
kunjung datang. Sedang aku tetap tidak bisa menghapusmu. Dan aku takut, suatu
saat aku akan jenuh dengan semua ini. Bosan menunggu, bahkan sebelum kamu
membalas rasaku.
*
Hy Ji, I miss your text :(
Aku
menggenggam erat Hp layar sentuh kesayanganku. Berulang-ulang, kubaca kalimat
pendek yang tertera dilayarnya yang mulai meredup. Sebuah pesan singkat yang
beberapa hari lalu kubuat. Yang bahkan hingga sekarang hanya mampu bersarang di
file konsep. Tidak pernah terkirim.
Aku terbiasa
menyimpannya untuk diriku sendiri. Menikmatinya dalam sepi. Padahal aku tahu,
semua itu tidak akan mengubah apapun. Kadang, diam adalah pilihan terbaik. Ya,
dalam hal-hal tertentu, begitulah menurutku.
Layar Hp-ku
sudah benar-benar redup sekarang. Aku membiarkannya tergeletak di atas meja
belajar, bersama beberapa buku yang berserakan. Biasanya, jam-jam ini adalah
waktu yang paling ku tunggu dan paling kunikmati dari 24 jam kehidupanku dalam
sehari. Dimana kami saling berbagi cerita, bertukar pikiran, atau hanya sekedar
bercanda. Memang, ini hanyalah percakapan melalui pesan singkat, tapi aku
menikmatinya.
‘Masih tidak bergetar ya,’ gumamku
sendiri.
Ku rebahkan
tubuhku pada padang bunga matahari yang tergambar di seprai kasurku. Setelah
seharian bergelut dengan pelajaran, ini terasa nyaman sekali. Ku biarkan diriku
tenggelam dalam kekosongan.
Deeerrrt… deeerrrt… deeerrrt…
Bergetar! Sontak, aku bangun dari zona nyamanku. Sesegera mungkin
menyambar Hp. Agak menahan nafas saat melihat siapa yang mengirimkan pesan.
“Arrrrrgh!”
aku mendengus kesal.
Kenapa
operator harus megirim pesan disaat seperti ini? Menyebalkan.
Aku
mengembalikan Hp-ku ketempat semula. Ah tidak, mungkin, melemparnya ketempat
semula adalah kalimat yang lebih tepat. Kemudian, aku sudah terlelap. Dan, saat
aku mengecek Hp dipagi harinya, tidak ada pesan.
Ini yang
selalu ku takutkan. Saat Ji dan aku menjadi renggang. Sudah beberapa hari ini
dia tidak mengirim pesan singkat padaku. Sedangkan aku, tidak pernah berani
untuk menghubunginya terlebih dahulu. Kolot kah? Ya, mungkin. Sebenarnya,
menurut orang lain, ini tidak akan menjadi masalah jika aku yang menghubunginya
terlebih dahulu. Karena kami bersahabat. Itu benar, tapi hubungan kami sedikit
agak berbeda. Ini yang membuat aku kehilangan nyali. Karena aku lah yang
membuat hubungan kami menjadi sulit.
Beberapa
minggu lalu, aku mengunggah sebuah tulisan ke blog pribadiku. Tulisan yang
semestinya tidak untuk dipublikasikan. Tentang perubahan perasaanku pada Ji.
Mengenai Ji yang semakin sering berkelebat dalam pikiranku. Aku yang selama ini
diam-diam, mencintai Ji. Aku yang sebenarnya menunggu Ji membalas rasaku.
Tentang ketakutanku akan kehilangan Ji. Dan, tanpa pernah ku ketahui, Ji
ternyata adalah pembaca setia blog pribadiku.
‘Mai?’ pesan ini mendarat di
Hp-ku satu jam setelah aku mem-posting
tulisan itu di blog.
‘Ya?’
‘Boleh
Tanya?’
Saat
itu, ku pikir dia akan menanyakan hal yang sudah biasa ditanyakannya. Seperti, ‘sudah ulangan kimia?’ Atau hal-hal umum
yang biasa kami bicarakan. Jadi, aku menjawab pesannya dengan biasa juga, ‘Tanya aja..’
‘Tentang tulisan di blog-mu itu……’
Pada
titik itu, aku sadar apa yang akan menjadi topic pembicaraan kami selanjutnya.
Aku hampir memutuskan untuk tidak membalas pesan itu. Tapi ini akan lebih
terkesan aneh. Seperti orang bodoh, aku berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Mencoba menanggapi sebiasa mungkin untuk menutupi kegugupanku.
‘Kenapa?’ ku
putuskan untuk menjawab dengan singkat.
‘Yang
judulnya Kamu?’
Kali
ini aku menenggelamkan kepalaku dibawah bantal. Rasanya kepalaku memanas. Aku
malu, benar-benar malu. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi.
‘Iya,
kenapa?’
‘Em,
ditulisan itu kamu bilang kalau kamu nggak pengen tokoh ‘kamu’ itu tahu. kalau
ternyata dia tahu gimana?’
Aku
menggigit jari, pasrah.
‘Ya sudah,
kalau sudah terlanjur tahu, mau bagaimana lagi?’ jawabku sok tenang.
‘Oh, eh aku
ngantuk mau tidur. Da!’
Aku
tahu dia belum mengantuk. Aku tahu dia hanya berpura-pura. Aku tahu, dia sudah
menyadari perasaanku.
Masih
ku simpan pesan itu. Juga pesan-pesan lama dari Ji. Kadang, iseng-iseng ku baca
ulang mereka. Lalu, aku akan tertawa sendiri, tersenyum geli, manyun, terharu,
atau bahkan menangis. Seperti orang gila.
Aku dan Ji.
Aku lupa kapan kami pertama bertemu. Yang pasti, itu sekitar dua tahun lalu.
Aku juga tidak ingat kapan kami menjadi akrab. Tahu-tahu, kami sudah dekat.
Sangat dekat. Tiba-tiba, aku menjadi terbiasa dengan adanya Ji dalam
kehidupanku. Kami mengenal baik satu sama lain. Bahkan Ji tahu detail jam
berapa aku mulai merasa ngantuk. Begitu juga aku, yang hampir tahu semua
tentang Ji.
Awalnya, aku
merasa persaanku ini hanya akan berlangsung sesaat saja. Tapi aku salah, sampai
saat ini aku masih membawa rasa itu. Bahkan aku sempat berpikir, perlahan-lahan
dia juga akan merasakan hal yang sama denganku. Tapi kami sudah terlanjur akrab
sebagai seorang sahabat.
Banyak orang
mengatakan, akan lebih mudah bagi kita jika kita jatuh cinta pada sahabat
sendiri. Ah, benarkah? Kenapa aku justru merasa aneh, canggung. Aku takut rasa
ini akhirnya menjadi alat penghancur bagi persahabatan kami. Maka, ku putuskan
untuk menghindari Ji. Ah, aku sendiri yang menghindar, tapi aku juga yang
merindu. Saat ini, Ji tidak salah. Aku yang memintanya untuk tidak
menghubungiku. Jujur, saat mengatakan itu, aku berharap Ji akan menolak dan
memintaku untuk tidak mengacuhkannya lagi. Ji memang sempat menyatakan ketidak
setujuannya dengan permintaanku. Tapi akhirnya, dia menurut.
‘Jangan menganggapku seperti orang asing,’
Aku memang
bersikap seolah tidak mengenalnya saat bersisipan disekolah.
‘Aku tidak memandangmu seperti orang
asing,’ jawabku. Bohong.
‘Tapi aku mersakannya!’
‘Maaf…’
‘Terserah kamu, yang penting aku tidak
akan pernah menganggap kamu sebagai orang asing.’
Lagi-lagi,
aku membaca percakapan lama kami dalam pesan singkat yang masih ku simpan.
Walau
sepertinya aku menghindarinya, sebenarnya aku memperhatikannya dari jauh. Meskipun
aku memintanya untuk menjauhiku, sebenarnya aku ingin dia menolak dan tetap
berada didekatku. Biarpun aku bersikap bodoh seperti itu, aku tetap menunggunya.
Kalaupun aku berkata akan menghapusnya, sebenarnya aku takut kehilangannya.
Ji, ada
jarak yang sangat sempit, seperti spasi diantara kita. Yang menyebabkan kita
tidak bisa saling menggenggam walau sangat dekat.
*
Pernah suatu hari dalam keremangan
hujan.
Ji :
Apa yang kamu rasakan?
(Mai : Aku menyukaimu.)
Mai :
Apa yang kamu rasakan?
Ji : Yang kurasakan sama
seperti yang kamu rasakan*
*Dalam rintik
gerimis Desember 2013
Alinur
Awwalina