‘Matoh’ Bukan Sekedar Embel-Embel


.


(Tiba-tiba pengen posting artikel ini :)


Dewasa ini, Bojonegoro terkenal dengan gelar ‘matoh’-nya. Tapi, ‘matoh’ dari segi apanya? Ekonomi? Saya rasa bukan. Sumber daya alam? Nah, ini baru matoh. Sumber daya lamnya matoh, lalu bagaimana dengan sumber daya manusianya? (Masih) Belum matoh menurut saya. Lihat saja, sumber minyak di Bojonegoro merupakan bukti bahwa sumber daya alam Bojonegoro memang hebat. Tapi, apa warga Bojonegoro sudah dapat dikatakan makmur? Belum, kalau dilihat dari sisi kemakmuran orang asing yang mengolah dan meraup keuntungan dari hasil minyak bumi Bojonegoro. Lho, jangan menyalahkan orang asing. Kalau kita sebagai warga Bojonegoro mampu mengelola potensi itu, pasti kita bisa jauh lebing berkembang, terutama dalam bidang perekonomian. Maka dari itu, warga Bojonegoro dan pemerintah harus menengok kepada diri sendiri, yang masih harus belajar dan belajar, juga mengembangkan pendidikan.
Bagaimana dengan pariwisatanya? Sepertinya penurunan telah terjadi. Waduk pacal, Khayangan api, Bendung gerak, dan lain sebagainya. Apa kabar mereka? Masih dalam taraf standart bukan? Belum berkembang. Bahkan katanya, Khayangan api sudah mulai hilang api abadinya. Sudah padam ketika diguyur hujan. Oh, satu lagi, yang mungkin sudah hampir terlupakan, Mliwis Putih! Yang hanya ada di Bojonegoro, namun bagaimana nasibnya? Sudah tidak digunakan, tutup.
Lalu, apa yang disebut ‘matoh’ dari Bojonegoro? Karena Bojonegoro punya Kange Yune (duta wisata Bojonegoro)? Memang Kange Yune masih ada, tapi menurut saya Kange Yune merupakan sebuah formalitas belaka. Bagaimana tidak? Apa to tugas Kange Yune? Untuk memperkenalkan objek wisata dan budaya Bojonegoro kepada masyarakat luar? Sekarang anda bisa melihat sendiri, bahkan banyak warga Bojonegoro yang belum pernah berkunjung ke Khayangan api. Apalagi berkunjung, tempatnya saja ada yang belum tahu. Itu warga Bojonegoro, bagaimana dengan masyarakat luar? Kange Yune juga bertugas memperkenalkan budaya Bojonegoro, apa yang mau diperkenalkan? Batik? Tanyakan pada orang Bojonegoro, apa mereka hafal nama sembilan motif batik Bojonegoro? Jawabannya pasti tidak. Tengul? Bahkan ada yang tidak tahu kalau tengul itu nama tarian khas Bojonegoro. Mungkin Ledre lah yang paling beruntung dari semuanya. Yang masih diproduksi higga sekarang dan masih menjadi oleh-oleh asli Bojonegoro.
Sepertinya sama dengan Kange Yune, Raja Rani (duta lingkungan hidup Bojonegoro) juga merupakan sebuah ajang formalitas disini. Atau bahkan banyak warga Bojonegoro yang baru tahu tentang adanya Raja Rani dari tulisan saya. Mungkin saja. Melihat tanah Bojonegoro yang dulu mempunyai selogan asri, kini semakin tidak terurus. Tembakau merupakan tanaman yang dihasilkan di Bojonegoro. Namun akibat cuaca yang tidak menentu, panen tembakau banyak yang gagal. Salah siapa? Saya, anda, Raja Rani, atau kita? Yang pasti jangan salahkan cuaca, karena iklim menjadi semrawut juga karena ulah kita sendiri.
Lho, tidak setuju dengan pendapat saya? Setuju boleh, tidak juga bukan masalah. Karena pada intinya, setuju atau tidak setuju anda, saya tetap berpendapat bahwa embel-embel ‘matoh’ yang mengekor pada Bojonegoro masih sangat dini. Masih terlalu riskan untuk meyimpulkan, yang mana yang dikatakan ‘matoh’. Apa seluruhnya, yang saya kira justru semrawut.
Kalau memang anda tidak setuju dengan pendapat saya, buktikan bahwa pendapat saya salah. Perlihatkan bahwa Bojonegoro benar-benar ‘matoh’. Gali semua potensi yang ada, termasuk potensi terkecil sekalipun. Tapi, jangan hanya digali lalu ditinggalkan, olah dan kembangkan.
Tidak jauh berbeda, anda yang sependapat dengan saya. Lakukan hal yang sama, kembangkan Bojonegoro dari berbagai segi. Pendidikannya, pariwisatanya, lingkungannya, budayanya, jika semua sudah berkembang ekonomi akan otomatis mengikuti. Jangan hanya menggerutu, tapi tidak bertindak. NATO (No Action Talk Only). Jangan melirik pada saya, setidaknya saya sudah sedikit bertindak membuka dan menyampaikan aspirasi saya dan mungkin sebagian orang melalui tulisan ini.
Sederhana bukan? Hanya ingin merealisasikan Bojonegoro yang benar-benar ‘matoh’. Agar ‘matoh’ tidak dianggap sekedar embel-embel.

One Response to “‘Matoh’ Bukan Sekedar Embel-Embel”

  1. Unknown says:

    artikel yang sangat membangun
    matur suwun min :)

Your Reply