Archive for Februari 2013

Ikan badut kecil


.

Untuk Langit yang damai.
Hai Langit, apa aku membuatmu khawatir? aku tidak apa-apa kok :)
Kau tahu, aku sudah genap tujuh belas tahun bernafas. Tujuh belas tahun merupakan titik balik dari sifat labil remaja menuju ke sifat dewasa. Aku sudah memikirkan ini.
Aku memikirkan tentang ikan. aku ini lebih bodoh dari ikan badut yang bodoh Ngit. Sebodoh-bodohnya ikan, dia akan melepaskan kail umpan jika si pemancing tidak kunjung menariknya. nah, aku manusia Ngit, aku seharusnya sudah menyadari itu sejak lama ya, tapi aku malah menikmati terombang ambing bersama kail yang umpannya sudah ku makan tapi si pemancing tidak menariknya.
Hahhh.. Tapi sekarang aku paham Ngit, percuma saja jika aku tetap mempertahankan berada di kail itu, padahal umpannya sudah tak ada. pemancingnya pun tidak mau menangkapnya. Lebih baik, aku melepaskan aku melepaskan kail itu sekarang. toh, bila suatu hari si pemancing datang lagi dan memasang umpan, aku juga akan tetap mendekat (seperti layaknya seekor ikan). dan aku akan menunggu pemancing menariknya.
Dari aku, yang kadang menjadi ikan badut kecil.

Tujuh Belas


.

Ini hari pertama, iya. hari pertamaku dengan embel-embel orang dewasa, he-he.. aku sudah tujuh belas tahun. Memang, terhitung dari kemarin, 21 Februari 2012. tapi, sebenarnya aku lahir pada sekitar pukul 9 malam, jadi menurutku, ini hari pertamaku sebagai anak yang sudah pantas dibilang dewasa.
Tidak ada yang spesial untuk tahun ini kecuali aku sudah bisa buat KTP :D. Emmm, telur yang mendarat dikepala seperti biasa, dan tekanan minta traktirdari teman-teman. Hee, aku bokek lhoooo :( kapan-kapan saja ya..
Terimakasih untuk orang-orang yang sudah memberi selamat. Untuk Ibuk yang selalu ingat. Untuk Rama yang bahkan jauh-jauh hari sudah mengirimkan do'a. Untuk Atma yang menjadi orang pertama (tanggal 21), untuk Cacing alias Caca yang sebenarnya pengen jadi yang terakhir ditanggal 21 tapi malah ketiduran, untuk Langit yang hari ini cerah.
Untuk beferly dkk makasih telurnya. Yeni makasih udah disuruh jalan dari masjid ke rumah -_-
Terimakasih semua :)
Terutama Allah yang masih memberiku hidup :*

Keinginan Sederhana


.




Tidak kurang dari setengah jam sudah aku di sini, disudut sebuah cafe bergaya klasik. Dimeja nomer lima yang menyediakan dua kursi untuk pengunjungnya. Satu kursi menghadap ke sebuah pojom akustik, dan satu lagi menghadap tepat ke kaca jendela depan yang memberi sedikit gambaran tentang hiruk-pikuk kota. Aku duduk menghadap jendela, agar aku dapat melihat sdiapa yang akan singgah dicafe ini.
            Seorang wanita muda, yang memekai kemeja putih dan rok hitam mendatangiku untuk kesekdian kalinya, dengan tujuan menanyakan apa yang ingin aku pesan. Mungkin sudah empat kali aku menjawab pertanyaan wanita berperawakan kurus ini dengan kalimat sama, “Nanti dulu, saya masih menunggu teman”. Dan kini wajahnya mulai masam karena bosan. Melihat itu, aku memutuskan untuk memesan sesuatu. Dan pilihanku jatuh pada secangkir capuccino yang berada pada urutan keempat didaftar minuman.
            Dia mencatat lalu menambahkan, “Ada yang lain?”
            “Tidak, terima kasih,” jawabku seraya tersenyum padanya. Merasa sedikit bersalah karena membuatnya kesal.
            Semilir angin menyentuh pori-pori, menyejukkan. Aku masih menunggu, menunggu yang ku tunggu. Tidak lama, secangkir capuccino hangat mendarat dimejaku. Kali ini, bukan wanita tadi lagi yang mengantarkannya, sudak ku katakan bahwa dia bosan.
            Belum juga sempat ku sentuh si capuccino, seorang priya yang sedang memarkir vespa merahnya menyita pandanganku. Seorang priya bermata sipit, karismatik. Poninya yang dibdiarkan memanjang sampai menyentuh alis, membuatnya terlihat tampan. Aku memandangnya memasuki cafe ini. Berjalan dengan sedikit tergesa-gesa menuju meja yang aku tempati.
            “Aku terlambat ya? Maaf tadi si Flo mogok lagi, kamu pasti sudah lama menungguku,”  celotehnya sambil menunjuk kearah Flo, vespa merahnya, barang antik yang suadah pantas dimasukkan kemuseum.
            “Tidak, belum lama,” jawabku sedikit berbohong. Ah, bukan sedikit, aku memang berbohong.
            Priya yang selalu mengenakan jaket abu-abu ini bernama Candra. Priya pertama yang membuat cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Yang bisa mencintaiku dengan tulus, dan membuatku percaya akan adanya keajaiban. Ya, keajaiban. Bagaimana tidak? Candra adalah salah satu makhluk berpredikat sempurna dan tergolong langka dimata para wanita, khususnya disekolahku. Aku sempat ragu untuk menjalin hubungan dengannya, namun dia meyakinkanku. Sudah hampir satu tahun kami menjalin hubungan. Sudah banyak pula badai yang menerpa. Mulai dari sikap para fans fanatiknya yang menentang keras hubungan kami, sampai teror-teror yang ku alami. Tentu saja mereka merasa ini tidak adil, Candra lebih memilih aku. Dan sdiapa aku? Hanya seorang gadis kecil buruk rupa yang bahkan tidak pernah berani bermimpi untuk mendapatkan cinta sang pangeran. Rasanya seperti kisah dalam dongeng yang teradaptasi dikisah nyata. Berlebihankah ini? Ku rasa aku memang melebih-lebihkan. Tapi memang begitu adanya.
            Sore ini, dia memintaku untuk datang kecafe yang bukan langganan kami. Aku tidak tahu ng bangunan ini. Aku memang suka bangunan bergaya klasik, seperti cafe ini.
            Tanpa kusadari, sedari tadi Candra tengah menatapku lekat-lekat. Mata teduhnya menelusup dalam. Tidak pernah sedalam ini sebelumnya.
            “Cafe ini bagus. Bergaya klasik modern, aku suka,” aku yang mulai salah tingkah mengemukakan pendapat tanpa diminta.
            Namun ekspresi Candra masih sama. Usahaku untuk mengalihkan perhatdian sdia-sdia belaka.
            “Eh, kenapa? Ada yang salah denganku?” tanyaku akhirnya, penasaran.
            “Bukan,” jawabnya singkat. Masih memandangku, tapi kali ini dia membubuhkan senyum pada pandangannya, hangat, tulus. Yang justru membuatku semakin gugup.
            “Lalu kenapa menatapku seperti itu?”
            “Em, bagaimana aku mengatakannya?”  tanyanya semakin membuatku bingung.
            “Katakan saja, ada apa?”
            Dia meraih tanganku dan berkata, “Na, maafkan aku.”
            “Maaf? Kenapa minta maaf?”
            “Jangan mencintaiku lagi...” kalimatnya mengambang.
            Blam! Seperti ada pesawat tempur pengangkut bom nuklir yang mendarat kritis dihatiku. Bukan, bukan mendarat kritis, lebih parah, pesawat itu jatuh dan meledak. Membuat seluruh dasar hatiku hancur olehnya. Raddiasi nuklir pun telah menjalar sampai keotakku, sehingga aku tidak bisa berpikir lagi, apa maksud perkataan Candra tadi. Ku harap raddiasi nuklir telah merusak saraf pendengaranku, sehingga aku menjadi salah dengar. Tapi tidak, bom nuklir ini jatuh setelah aku mendengar pernyataan itu dari Cadra bukan sebelumnya.
            “Mungkin kamu binggung, tapi ku mohon lupakan aku, berhentilah mencintaiku. Kamu terlalu baik untukku. Terlalu baik...,” lagi lagi dia menggantungkan ucapannya.
            “Tidak, tapi kenapa begitu?” tanyaku.
            “Sudah ku katakan, kamu terlalu baik. Terlalu naif. Maafkan aku, karena selama ini bersandiwara, ku katakan aku cinta kamu, tapi tidak. Aku hanya..., hanya ingin melihat orang sebaik kamu bahagdia. Tapi ternyata aku salah, jika aku meneruskan sandiwara ini, kamu akan semakin terluka, terluka oleh cinta palsuku. Maafkan aku. Carilah orang yang benar-benar mencintaimu. Hiduplah dengan bahagdia agar aku tidak terpuruk dalam rasa bersalahku,” jelasnya yang semakin membuatku sesak.
            “Tapi aku bahagdia bersamamu,” ucapku dalam hati, tak kuasa mengatakannya. Karena cairan bening sudah terlanjur memburamkan pandanganku, sdiap untuk meluncur turun.
            Aku mencintainya, dan ku kira dia pun begitu. Aku menyukainya, segala tentangnya. Aku suka caranya tersenyum hangat padaku, aku suka bila mata teduhnya menatap mataku, aku suka saat dia mengacak rambutku meyatakan dia menyayangiku. Aku ingin bersamanya, tidak ingin melepaskannya.
            Aku tidak mengerti ini. Semua ini. Cinta adalah hak setiap orang. Mencintai dan dicintai. Tapi kenapa tidak ada yang tulus mencintaiku? Bila begini, masih harus percayakah aku pada keajaiban? Benarkah begitu? Jika ya, jika memang harus. Baiklah, namun perbolehkan aku sekali saja meminta sesuatu. Sebuah keinginan sederhana. Ijinkan aku untuk menjadi manusdia yang lebih egois lagi dari sekarang. Hanya itu.
            “Pergilah bila kamu memang ingin pergi, hiduplah dengan bahagdia, jangan terpaut pada rasa bersalahmu terhadapku. Jangan meminta maaf lagi, karena aku sudah memaafkanmu. Tapi..,” kini ganti kalimatku yang mengambang, rasanya sulit sekali untuk melanjutkan.
            Hening menyapa, kami berkelana dalam pikran dan hati masing-masing.
            “Tapi... bdiarkan aku tetap mencintaimu,” lanjutku memecah ddiam.
            “Nana.. Please..,” nada bicaranya mengisyaratkan bahwa dia tidak menghendaki hal tersebut.
            Tertunduk, aku berkata, “Hanya itu, ya, satu keinginan sederhanaku. Tetap mencintaimu.”
            Karena Tuhan tidak mengijinkanku untuk menjadi manusdia yang lebih egois lagi. Cukup, sudah cukup. Hanya mencintaimu, egois kah aku bila seperti ini? Tidak. Karena cinta adalah hak setdiap manusdia, tanpa terkecuali. Dan itu tidak dapat dipakasakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku, begitu pula sebaliknya, kamu tidak bisa memaksaku untuk berhenti mencintaimu.
            “Kadang, apa yang kita kira tidak berjalan dengan lancar justru terlihat sempurna dimata sang pencipta. Ya, aku paham, dan aku mengerti,” kataku lebih kepada diriku sendiri. Mencoba mengusir kepedihan.
            “Maaf..,” sambil melepaskan genggaman tangannya dariku, dia mengucapakan kalimat itu lagi, semoga ini yang terakhir kali.
            Kemuddian dia pergi, meninggalkanku bersama secangkir capuccino hangat yang sudah tidak hangat lagi.

Perjalanan Sepotong Rindu


.


Ini tulisan lama

                Waktu akan terus melangkah, tanpa peduli bagaimana manusia menyikapinya. Entah itu menyusuri jejak langkahnya atau bahkan diam ditempat dan membiarkan dirinya sendiri terpenjara oleh suatu waktu bernama ‘masa lalu’.
                Manusia tidak akan pernah bisa menjerat masa lalunya. Kemudian, menyimpannya dalam sebuah toples bening agar bisa dinikmati setiap hari. It’s impossible thinks.
                Begitu pula aku yang beberapa waktu lalu kehilanganmu. Ah, memori-ku akan menjadi seperti terserang virus bila itu tentangmu. Melupakan sosokmu adalah hal mustahil yang tidak akan ku lakukan. Tapi untuk saat ini, otakku sedang error. Seolah ada yang memformat habis semua tentangmu. Senyummu, wajahmu, suaramu, semua hilang. Semua hal yang tidak ingin ku lupakan. Hal-hal yang ingin tetap ku simpan sekalipun waktu meninggalkanku. Namun semua terbakar oleh kebiasaan yang menciptakan kebutuhanku akanmu. Yang kini mengharuskanku untuk terus mencarimu. Aku merindu.
                Sepertinya, aku akan gila. Tidak, aku memang sudah mulai gila sejak mengenalmu. Melibatkanmu dalam setiap unsur diriku, membuatmu menjadi teramat penting. Menobatkanmu sebagai oksigen yang memenuhi paru-paruku. Kau itu candu, yang sudah terlanjur kukonsumsi dan berakibat fatal dalam hidupku. Kau mencandu, aku kecanduan. Aku membutuhkanmu.
                Mungkin, aku tidak akan seberani ini. Menyatakan bahwa kau oksigen-ku. Jika saja kau tidak memintaku untuk merubah sebutan kau dan aku menjadi ‘kita’, aku tidak akan seberani ini.
                Ini adalah sebuah pengakuan yang seharusnya memalukan bila dilakukan oleh orang yang waras.tapi saat ini aku sedang gila karena kau menjelma menjadi narkoba yang meracuni pikiranku.
                Aku merindukanmu sepanjang waktu. Memikirkanmu bahkan saat kau ada bersamaku.
                Sekarang, aku sudah benar-benar lupa bagaimana wajahmu. Walaupun berlembar-lembar foto yang kata orang adalah kau telah kupandangi, aku tetap lupa.
                Kebutuhan akanmu semakin menekanku untuk menemukanmu. Sebenarnya, kau dimana? Kenapa menghilang? Kau menyiksaku!
                Kau sangat menyebalkan. Meninggalkanku sepertin ini, membuatku susah untuk bernafas. Nafasku sudah lelah. Aku harus menemukan oksigen-ku. Dan ketika pada titik ini aku tetap tidak bisa menemukanmu, aku akan membangun kembali sebuah ketidak mungkinan yang akan kupelihara sebagai harapan. Dapan mengemasmu dalam balutan masa lalu kita dan menyimpannya pada sebuah toples bening. Aku bersedia terikat pada masa lalu.
                Rinduku masih menjajaki waktu untuk menemukanmu.


Berusaha menemukanmu,
14 Februari 2012

Senja Beku


.

             Aku masih di sini. Hanya duduk di sini. Tidak ada yang ingin ku kerjakan. Tidak ada rapat yang harus ku hadiri. Kalaupun ada, aku tidak ingin. Tidak ingin pergi dari sini. Hanya tinggal di sini.

            Di sini, di sebuah kursi tunggu stasiun. Berharap bisa melihat seseorang yang sudah satu tahun ini hanya menjadi bayangan. Orang yang sudah memenuhi hatiku bahkan sejak dia masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
            Menunggu, ya, aku sedang menunggu. Meskipun aku tidak seharusnya melakukan ini. Menunggu seseorang yang tidak harus ditunggu.
            Pukul 16.55 sore, aku melirik jam tangan Guess yang sengaja ku atur 15 menit lebih awal dari waktu yang sebenarnya. Berarti, sekarang pukul 16.40. aku sudah menunggu berapa lama? Aku bahkan tidak ingat.
            Kemudian, 10 menit itu menjadi 30 menit. Sekarang pukul 17.10 pada jam tanganku dan pukul 16.55 pada waktu yang sebenarnya. Aku memang sengaja datang lebih awal. Karena terburu-buru, aku tidak sempat pukul berapa aku berangkat tadi. Mungkin satu jam yang lalu, atau lebih.
            Kereta itu mestinya tiba 5 menit lagi. Aku mulai gugup. Ada sesuatu yang memenuhi dadaku. Ini membuatku sesak. Perasaan ini selalu membuatku sussah bernafas. Perasaan yang sangat ku benci, tapi juga selalu ku tunggu kehadirannya. Bertambahnya kecepatan degup jantungku saat melihatnya. Bahagia saat melihatnya. Dan kebahagiaan itu membuatku solah akan meledak. Membuat nafasku berhenti, ini sungguh menyulitkan.
            Tanpa kusadari, kakiku sudak bergerak keatas dan kebawah. Seperti bergetar, tapi sangat keras dan terlihat.
            “Ehm,”
            Aku menoleh ke kanan, pada seorang lelaki yang sedang duduk disebelahku sambil membaca Koran dan baru saja berdeham. Mungkin, dia merasa terganggu dengan tingkahku, jadi ku coba untuk menghentikan gerakan kakiku.
            Dua menit lagi, bila kereta itu tidak terlambat, harusnya dua menit lagi. Gerakan kakiku memnag sudah berhenti, tapi tanganku mulai berkeringat. Membasahi seikat bunga ynag sedari tadi kupegangi. Dua puluh lima batang mawar kuning, mewakili bertambahnya usianya yang ke 25 beberapa waktu lalu. Memang sudah terlambat, tapi aku tetap ingin menghadiahkan ini.
            3 menit berlalu. Kereta ini sudah melenceng 1 menit dari jadwal. Aku mencium mawar yang kubawa, memastikan bunga ini tidak rusak atau layu. Lalu, aku membetulkan kancing jas hitamku dan melonggarkan dari berwarna kuning hadiah darinya sekitar dua tahun lalu. Dan, aku siap menyambutnya.
            Aku sudah tidak ingin melihat jam lagi. Sudah terlampau gugup. Yang pasti ini terasa lama, belum ada tanda-tanda kereta mendekat. Degup jantungku semakin cepat. Aku penasaran, apa dalam setahun ini dia mengalami banyak perubahan, memakai baju seperti apa dia hari ini, apa dia memotong rambutnya? Berbagai pertanyaan melayang-layang diotakku.
            Ini sama seperti saat seseorang akan membuka sebuah kado. Penasaran apa dan bagaimana yang tersimpan didalam bungkusan itu. Atau, seperti aku yang dalam satu tahun terakhir selalu tergoda untuk memeriksa kotak pos di depan rumahku. Apakah ada surat untukku darinya?
            Sejak pindah satu tahun lalu, wanita yang saat ini masih ku tunggu kedatangannya ini sering menulis surat untukku. Meskipun sekarang sudah ada handphone, email, facebook dan lain sebagainya yang dapat mempermudah komunikasi jarak jauh, dia lebih suka menulis surat. “Lebih memoriable,” katanya.
            “Hah.. kenapa lama sekali?!” aku menghela nafas. Membenarkan posisi dudukku.
            Aku mengeluarkan surat yang hari Selasa lalu mendarat dikotak suratku. Ini darinya. Tulisannya tidak berubah. Kecil-kecil berderet rapi.

            Untuk Banyu
           
            Apa kabar Nyu? Ku harap, ketenangan selalu menemanimu. Seperti dulu. Banyu yang tenang. Yang tidak memiliki ombak besar dan berbahanya dalam dirinya. Hanya kadang, beriak-riak kecil bila ada yang mengusiknya J
            Nyu, kau harusnya merindukanku bukan? Sudah satu tahun kita tidak bertemu. Aku merindukanmu. Banyak sekali yang ingin ku ceritakan. Dan, aku punya kejutan untukmu.
            Hari Kamis besok, aku pulang.
            Tunggu kau di stasiun, keretaku akan datang pukul 17.00.

Yang selalu menyayangimu,
Senja-

            Sepertinya, kereta yang mengantarkan Senja memang terlambat. Hari hampir senja, tapi Senja-ku belum tiba.
            Tidak lam, deru kereta api menyeruak dari kejauhan. Sebuah senyum mengembang begitu saja dipipiku. Ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun Senja pulang. Aku berdiri, sekali lagi mencium seikat bunga yang ku bawa. Menantinya.
            Dari kejauhan, aku melihatnya. Seseorang yang tidak asing. Senja. Rambutnya yang bergelombang, terlihat semakin panjang. Tergerai, sedikit-sedikit terbawa angin. Aku suka rambutnya yang dibiarkan sedikit berantakan itu. Selalu menyukainya. Semua yang ada padanya.
            Ku lambaikan tanganku, berharap dia menemukanku.
            “Nyuuuuuu!” teriaknya dari kejauhan. Berlari-lari kecil menghampiriku.
            Hah, ‘Nyu’ selalu terdengar konyol ditelingaku dan ditelinga orang lain. Tapi tidak untuk Senja. Sejak kami pertama kali bertemu, dia sudah memanggilku seperti itu.
            Senja semakin dekat. Aku tidak bergerak. Hanya menyuguhkan senyum paling manis sedunia yang kumiliki. Seketika, rasa rinduku luntur.
            Aku menyukai sensasi ini. Jantungku berdebar kencang, aku masig gugup. Semoga saja kegugupan ini tidak kentara. Semoga saja kebahagiaanku mampu menutupi kebahagiaan ini,
            “Nyu, apa kau merindukanku?”
            Sekarang, dia tepat dihadapanku.
            “Tentu saja. Kau adalah orang yang paling jahat sedunia karena telah membuatku menunggu selama ini.” Jawabku jujur,dengan nada bercanda.
            “Haha, maaf. Aku terlalu sibuk dikantor baruku satu tahun ini,”
            “Permintaan maaf akan diterima jika kau mau menerima ini,” aku menyodorkan mawar kuning kesukaannya.
            “Wah, kau berlebihan. Tapi Nyu, tidak perlu seperti ini,”
            “Dua puluh lima batang mawar kuning, mewakili usiamu. Selamat ulang tahun Senja, maaf terlambat.”
            “Ah iya, ulang tahunku ya. Ku kira kau sudah lupa,”
            “Aku belum sepikun itu,” kataku menggoda.
            “Hahaha” tawa kami bercambur dengan atmosfer di ruang tunggu itu.
            Aku mulai celingukan. Mencari sebuah kotak atau apapun semacamnya yang menyerupai kado disekitar wanita ini. Wanita yang dua tahun lebih muda dariku ini ikut kebingungan.
            “Ada apa?” tanyanya.
            “Tidak. Dalam suratmu, kau bilang kau punya kejutan untukku?”
            “Oh itu, kau ingat surat yang kukirimkan padamu delapan bulan lalu?”
            “Surat yang mana?”
            “Kau bahkan tidak membalas surat itu,”
            “Oh, tentang laki-laki yang kau temui dikantor barumu itu? Kau tertarik padanya kan, siapa namanya, Reno?” tanyaku berpura-pura lupa.
            “Iya! Kau tahu, aku sudah bersamanya delapan bulan ini,”
            “Hemm” kupaksakan seulas senyum.
            “Kau adalah sahabatku yang paling dekat Nyu. Kau orang pertama yang harus melihat ini,” dia mengambil sesuatu dari tas tangannya. Sepertinya, aku tahu apa itu.
            Sambil menyodorkan itu, dia berkata, “Aku juga harus meminta restu padamu.”
            Undangan berwarna kuning itu, sekarang ada ditanganku. Reno Sanjaya & Senja Biru. Sudah ku katakan, dia adalah orang yang seharusnya tidak ku tunggu.
            “Satu tahun bukan waktu yang lama untuk saling mengenal,” nada bicaraku berubah dingin.
            “Dia baik Nyu, jangan khawatir. Aku akan mengenalkannya padamu. Aku janji,”
            Aku tidak menjawab.
            “Banyu Samudra! Sudah ku katakan aku ingin melihat Banyu yang tenang, bukan yang berombak.” Katanya sedikit merajuk.
            Aku masih diam.
            “Nyu? Ada apa? Kenapa?”
            Aku merogoh saku jasku. Mengeluarkan kartu ucapan berwarna kuning, “Selamat ulang tahun,” kataku sambil menyelipkan kartu ucapan didalam rangkaian bunga yang sudah ada ditangannya.
            Lalu, aku pergi. Aku mendengar dia memanggilku beberapa kali. Aku tau dia coba menahanku. Aku merasakan langkah kakinya yang mengikutiku. Langkah kaki itu sudah berhenti sekarang.
            Kartu ucapan:
           
            Senja menyambut Senja-ku
            Aku tidak ingin membeku
            Aku masih menjadi Banyu
            Menunggumu
            Bahkan sejak kau belum tahu arti menunggu
            Bukan aku yang beku
            Tapi Senja-ku
            Bahkan Banyu tak mampu mencairkanmu
            Aku menunggu
            Kau harus tahu,
            Aku mencintaimu

            Senja-ku beku. Ini mungkin berpengaruh pada senja yang sesungguhnya yang juga beku. Senja, aku tidak akan menunggumu menerimaku.


6 Januari 2013