Senja Beku


.

             Aku masih di sini. Hanya duduk di sini. Tidak ada yang ingin ku kerjakan. Tidak ada rapat yang harus ku hadiri. Kalaupun ada, aku tidak ingin. Tidak ingin pergi dari sini. Hanya tinggal di sini.

            Di sini, di sebuah kursi tunggu stasiun. Berharap bisa melihat seseorang yang sudah satu tahun ini hanya menjadi bayangan. Orang yang sudah memenuhi hatiku bahkan sejak dia masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
            Menunggu, ya, aku sedang menunggu. Meskipun aku tidak seharusnya melakukan ini. Menunggu seseorang yang tidak harus ditunggu.
            Pukul 16.55 sore, aku melirik jam tangan Guess yang sengaja ku atur 15 menit lebih awal dari waktu yang sebenarnya. Berarti, sekarang pukul 16.40. aku sudah menunggu berapa lama? Aku bahkan tidak ingat.
            Kemudian, 10 menit itu menjadi 30 menit. Sekarang pukul 17.10 pada jam tanganku dan pukul 16.55 pada waktu yang sebenarnya. Aku memang sengaja datang lebih awal. Karena terburu-buru, aku tidak sempat pukul berapa aku berangkat tadi. Mungkin satu jam yang lalu, atau lebih.
            Kereta itu mestinya tiba 5 menit lagi. Aku mulai gugup. Ada sesuatu yang memenuhi dadaku. Ini membuatku sesak. Perasaan ini selalu membuatku sussah bernafas. Perasaan yang sangat ku benci, tapi juga selalu ku tunggu kehadirannya. Bertambahnya kecepatan degup jantungku saat melihatnya. Bahagia saat melihatnya. Dan kebahagiaan itu membuatku solah akan meledak. Membuat nafasku berhenti, ini sungguh menyulitkan.
            Tanpa kusadari, kakiku sudak bergerak keatas dan kebawah. Seperti bergetar, tapi sangat keras dan terlihat.
            “Ehm,”
            Aku menoleh ke kanan, pada seorang lelaki yang sedang duduk disebelahku sambil membaca Koran dan baru saja berdeham. Mungkin, dia merasa terganggu dengan tingkahku, jadi ku coba untuk menghentikan gerakan kakiku.
            Dua menit lagi, bila kereta itu tidak terlambat, harusnya dua menit lagi. Gerakan kakiku memnag sudah berhenti, tapi tanganku mulai berkeringat. Membasahi seikat bunga ynag sedari tadi kupegangi. Dua puluh lima batang mawar kuning, mewakili bertambahnya usianya yang ke 25 beberapa waktu lalu. Memang sudah terlambat, tapi aku tetap ingin menghadiahkan ini.
            3 menit berlalu. Kereta ini sudah melenceng 1 menit dari jadwal. Aku mencium mawar yang kubawa, memastikan bunga ini tidak rusak atau layu. Lalu, aku membetulkan kancing jas hitamku dan melonggarkan dari berwarna kuning hadiah darinya sekitar dua tahun lalu. Dan, aku siap menyambutnya.
            Aku sudah tidak ingin melihat jam lagi. Sudah terlampau gugup. Yang pasti ini terasa lama, belum ada tanda-tanda kereta mendekat. Degup jantungku semakin cepat. Aku penasaran, apa dalam setahun ini dia mengalami banyak perubahan, memakai baju seperti apa dia hari ini, apa dia memotong rambutnya? Berbagai pertanyaan melayang-layang diotakku.
            Ini sama seperti saat seseorang akan membuka sebuah kado. Penasaran apa dan bagaimana yang tersimpan didalam bungkusan itu. Atau, seperti aku yang dalam satu tahun terakhir selalu tergoda untuk memeriksa kotak pos di depan rumahku. Apakah ada surat untukku darinya?
            Sejak pindah satu tahun lalu, wanita yang saat ini masih ku tunggu kedatangannya ini sering menulis surat untukku. Meskipun sekarang sudah ada handphone, email, facebook dan lain sebagainya yang dapat mempermudah komunikasi jarak jauh, dia lebih suka menulis surat. “Lebih memoriable,” katanya.
            “Hah.. kenapa lama sekali?!” aku menghela nafas. Membenarkan posisi dudukku.
            Aku mengeluarkan surat yang hari Selasa lalu mendarat dikotak suratku. Ini darinya. Tulisannya tidak berubah. Kecil-kecil berderet rapi.

            Untuk Banyu
           
            Apa kabar Nyu? Ku harap, ketenangan selalu menemanimu. Seperti dulu. Banyu yang tenang. Yang tidak memiliki ombak besar dan berbahanya dalam dirinya. Hanya kadang, beriak-riak kecil bila ada yang mengusiknya J
            Nyu, kau harusnya merindukanku bukan? Sudah satu tahun kita tidak bertemu. Aku merindukanmu. Banyak sekali yang ingin ku ceritakan. Dan, aku punya kejutan untukmu.
            Hari Kamis besok, aku pulang.
            Tunggu kau di stasiun, keretaku akan datang pukul 17.00.

Yang selalu menyayangimu,
Senja-

            Sepertinya, kereta yang mengantarkan Senja memang terlambat. Hari hampir senja, tapi Senja-ku belum tiba.
            Tidak lam, deru kereta api menyeruak dari kejauhan. Sebuah senyum mengembang begitu saja dipipiku. Ini adalah pertama kalinya dalam satu tahun Senja pulang. Aku berdiri, sekali lagi mencium seikat bunga yang ku bawa. Menantinya.
            Dari kejauhan, aku melihatnya. Seseorang yang tidak asing. Senja. Rambutnya yang bergelombang, terlihat semakin panjang. Tergerai, sedikit-sedikit terbawa angin. Aku suka rambutnya yang dibiarkan sedikit berantakan itu. Selalu menyukainya. Semua yang ada padanya.
            Ku lambaikan tanganku, berharap dia menemukanku.
            “Nyuuuuuu!” teriaknya dari kejauhan. Berlari-lari kecil menghampiriku.
            Hah, ‘Nyu’ selalu terdengar konyol ditelingaku dan ditelinga orang lain. Tapi tidak untuk Senja. Sejak kami pertama kali bertemu, dia sudah memanggilku seperti itu.
            Senja semakin dekat. Aku tidak bergerak. Hanya menyuguhkan senyum paling manis sedunia yang kumiliki. Seketika, rasa rinduku luntur.
            Aku menyukai sensasi ini. Jantungku berdebar kencang, aku masig gugup. Semoga saja kegugupan ini tidak kentara. Semoga saja kebahagiaanku mampu menutupi kebahagiaan ini,
            “Nyu, apa kau merindukanku?”
            Sekarang, dia tepat dihadapanku.
            “Tentu saja. Kau adalah orang yang paling jahat sedunia karena telah membuatku menunggu selama ini.” Jawabku jujur,dengan nada bercanda.
            “Haha, maaf. Aku terlalu sibuk dikantor baruku satu tahun ini,”
            “Permintaan maaf akan diterima jika kau mau menerima ini,” aku menyodorkan mawar kuning kesukaannya.
            “Wah, kau berlebihan. Tapi Nyu, tidak perlu seperti ini,”
            “Dua puluh lima batang mawar kuning, mewakili usiamu. Selamat ulang tahun Senja, maaf terlambat.”
            “Ah iya, ulang tahunku ya. Ku kira kau sudah lupa,”
            “Aku belum sepikun itu,” kataku menggoda.
            “Hahaha” tawa kami bercambur dengan atmosfer di ruang tunggu itu.
            Aku mulai celingukan. Mencari sebuah kotak atau apapun semacamnya yang menyerupai kado disekitar wanita ini. Wanita yang dua tahun lebih muda dariku ini ikut kebingungan.
            “Ada apa?” tanyanya.
            “Tidak. Dalam suratmu, kau bilang kau punya kejutan untukku?”
            “Oh itu, kau ingat surat yang kukirimkan padamu delapan bulan lalu?”
            “Surat yang mana?”
            “Kau bahkan tidak membalas surat itu,”
            “Oh, tentang laki-laki yang kau temui dikantor barumu itu? Kau tertarik padanya kan, siapa namanya, Reno?” tanyaku berpura-pura lupa.
            “Iya! Kau tahu, aku sudah bersamanya delapan bulan ini,”
            “Hemm” kupaksakan seulas senyum.
            “Kau adalah sahabatku yang paling dekat Nyu. Kau orang pertama yang harus melihat ini,” dia mengambil sesuatu dari tas tangannya. Sepertinya, aku tahu apa itu.
            Sambil menyodorkan itu, dia berkata, “Aku juga harus meminta restu padamu.”
            Undangan berwarna kuning itu, sekarang ada ditanganku. Reno Sanjaya & Senja Biru. Sudah ku katakan, dia adalah orang yang seharusnya tidak ku tunggu.
            “Satu tahun bukan waktu yang lama untuk saling mengenal,” nada bicaraku berubah dingin.
            “Dia baik Nyu, jangan khawatir. Aku akan mengenalkannya padamu. Aku janji,”
            Aku tidak menjawab.
            “Banyu Samudra! Sudah ku katakan aku ingin melihat Banyu yang tenang, bukan yang berombak.” Katanya sedikit merajuk.
            Aku masih diam.
            “Nyu? Ada apa? Kenapa?”
            Aku merogoh saku jasku. Mengeluarkan kartu ucapan berwarna kuning, “Selamat ulang tahun,” kataku sambil menyelipkan kartu ucapan didalam rangkaian bunga yang sudah ada ditangannya.
            Lalu, aku pergi. Aku mendengar dia memanggilku beberapa kali. Aku tau dia coba menahanku. Aku merasakan langkah kakinya yang mengikutiku. Langkah kaki itu sudah berhenti sekarang.
            Kartu ucapan:
           
            Senja menyambut Senja-ku
            Aku tidak ingin membeku
            Aku masih menjadi Banyu
            Menunggumu
            Bahkan sejak kau belum tahu arti menunggu
            Bukan aku yang beku
            Tapi Senja-ku
            Bahkan Banyu tak mampu mencairkanmu
            Aku menunggu
            Kau harus tahu,
            Aku mencintaimu

            Senja-ku beku. Ini mungkin berpengaruh pada senja yang sesungguhnya yang juga beku. Senja, aku tidak akan menunggumu menerimaku.


6 Januari 2013

Your Reply