Tidak kurang dari
setengah jam sudah aku di sini, disudut sebuah cafe bergaya klasik. Dimeja
nomer lima yang menyediakan dua kursi untuk pengunjungnya. Satu kursi
menghadap ke sebuah pojom akustik, dan satu lagi menghadap tepat ke kaca jendela depan yang
memberi sedikit gambaran tentang hiruk-pikuk kota. Aku duduk menghadap jendela,
agar aku dapat melihat sdiapa yang akan singgah dicafe ini.
Seorang wanita muda, yang memekai kemeja putih dan rok hitam mendatangiku untuk
kesekdian kalinya, dengan tujuan menanyakan apa yang ingin aku pesan. Mungkin
sudah empat kali aku menjawab pertanyaan wanita berperawakan kurus ini dengan
kalimat sama, “Nanti dulu, saya masih menunggu teman”. Dan kini wajahnya mulai
masam karena bosan. Melihat itu, aku memutuskan untuk memesan sesuatu. Dan
pilihanku jatuh pada secangkir capuccino yang berada pada urutan keempat
didaftar minuman.
Dia mencatat lalu menambahkan, “Ada yang lain?”
“Tidak, terima kasih,” jawabku seraya tersenyum padanya. Merasa sedikit
bersalah karena membuatnya kesal.
Semilir angin menyentuh pori-pori, menyejukkan. Aku masih menunggu, menunggu
yang ku tunggu. Tidak lama, secangkir capuccino hangat mendarat dimejaku. Kali
ini, bukan wanita tadi lagi yang mengantarkannya, sudak ku katakan bahwa dia
bosan.
Belum juga sempat ku sentuh si capuccino, seorang priya yang sedang memarkir
vespa merahnya menyita pandanganku. Seorang priya bermata sipit, karismatik.
Poninya yang dibdiarkan memanjang sampai menyentuh alis, membuatnya terlihat
tampan. Aku memandangnya memasuki cafe ini. Berjalan dengan sedikit
tergesa-gesa menuju meja yang aku tempati.
“Aku terlambat ya? Maaf tadi si Flo mogok lagi, kamu pasti sudah lama
menungguku,” celotehnya sambil menunjuk kearah Flo, vespa merahnya,
barang antik yang suadah pantas dimasukkan kemuseum.
“Tidak, belum lama,” jawabku sedikit berbohong. Ah, bukan sedikit, aku memang
berbohong.
Priya yang selalu mengenakan jaket abu-abu ini bernama Candra. Priya pertama
yang membuat cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Yang bisa mencintaiku
dengan tulus, dan membuatku percaya akan adanya keajaiban. Ya, keajaiban.
Bagaimana tidak? Candra adalah salah satu makhluk berpredikat sempurna dan
tergolong langka dimata para wanita, khususnya disekolahku. Aku sempat ragu
untuk menjalin hubungan dengannya, namun dia meyakinkanku. Sudah hampir satu
tahun kami menjalin hubungan. Sudah banyak pula badai yang menerpa. Mulai dari
sikap para fans fanatiknya yang menentang keras hubungan kami, sampai
teror-teror yang ku alami. Tentu saja mereka merasa ini tidak adil, Candra
lebih memilih aku. Dan sdiapa aku? Hanya seorang gadis kecil buruk rupa yang
bahkan tidak pernah berani bermimpi untuk mendapatkan cinta sang pangeran.
Rasanya seperti kisah dalam dongeng yang teradaptasi dikisah nyata.
Berlebihankah ini? Ku rasa aku memang melebih-lebihkan. Tapi memang begitu
adanya.
Sore ini, dia memintaku untuk datang kecafe yang bukan langganan kami. Aku
tidak tahu ng bangunan ini. Aku memang suka bangunan bergaya klasik, seperti
cafe ini.
Tanpa kusadari, sedari tadi Candra tengah menatapku lekat-lekat. Mata teduhnya
menelusup dalam. Tidak pernah sedalam ini sebelumnya.
“Cafe ini bagus. Bergaya klasik modern, aku suka,” aku yang mulai salah tingkah
mengemukakan pendapat tanpa diminta.
Namun ekspresi Candra masih sama. Usahaku untuk mengalihkan perhatdian sdia-sdia
belaka.
“Eh, kenapa? Ada yang salah denganku?” tanyaku akhirnya, penasaran.
“Bukan,” jawabnya singkat. Masih memandangku, tapi kali ini dia membubuhkan
senyum pada pandangannya, hangat, tulus. Yang justru membuatku semakin gugup.
“Lalu kenapa menatapku seperti itu?”
“Em, bagaimana aku mengatakannya?” tanyanya semakin membuatku bingung.
“Katakan saja, ada apa?”
Dia meraih tanganku dan berkata, “Na, maafkan aku.”
“Maaf? Kenapa minta maaf?”
“Jangan mencintaiku lagi...” kalimatnya mengambang.
Blam! Seperti ada pesawat tempur pengangkut bom nuklir yang mendarat kritis
dihatiku. Bukan, bukan mendarat kritis, lebih parah, pesawat itu jatuh dan
meledak. Membuat seluruh dasar hatiku hancur olehnya. Raddiasi nuklir pun telah
menjalar sampai keotakku, sehingga aku tidak bisa berpikir lagi, apa maksud
perkataan Candra tadi. Ku harap raddiasi nuklir telah merusak saraf
pendengaranku, sehingga aku menjadi salah dengar. Tapi tidak, bom nuklir ini
jatuh setelah aku mendengar pernyataan itu dari Cadra bukan sebelumnya.
“Mungkin kamu binggung, tapi ku mohon lupakan aku, berhentilah mencintaiku.
Kamu terlalu baik untukku. Terlalu baik...,” lagi lagi dia menggantungkan ucapannya.
“Tidak, tapi kenapa begitu?” tanyaku.
“Sudah ku katakan, kamu terlalu baik. Terlalu naif. Maafkan aku, karena selama
ini bersandiwara, ku katakan aku cinta kamu, tapi tidak. Aku hanya..., hanya
ingin melihat orang sebaik kamu bahagdia. Tapi ternyata aku salah, jika aku
meneruskan sandiwara ini, kamu akan semakin terluka, terluka oleh cinta
palsuku. Maafkan aku. Carilah orang yang benar-benar mencintaimu. Hiduplah
dengan bahagdia agar aku tidak terpuruk dalam rasa bersalahku,” jelasnya yang
semakin membuatku sesak.
“Tapi aku
bahagdia bersamamu,” ucapku dalam hati, tak kuasa mengatakannya.
Karena cairan bening sudah terlanjur memburamkan pandanganku, sdiap untuk
meluncur turun.
Aku mencintainya, dan ku kira dia pun begitu. Aku menyukainya, segala
tentangnya. Aku suka caranya tersenyum hangat padaku, aku suka bila mata
teduhnya menatap mataku, aku suka saat dia mengacak rambutku meyatakan dia
menyayangiku. Aku ingin bersamanya, tidak ingin melepaskannya.
Aku tidak mengerti ini. Semua ini. Cinta adalah hak setiap orang. Mencintai
dan dicintai. Tapi kenapa tidak ada yang tulus mencintaiku? Bila begini, masih
harus percayakah aku pada keajaiban? Benarkah begitu? Jika ya, jika memang
harus. Baiklah, namun perbolehkan aku sekali saja meminta sesuatu. Sebuah
keinginan sederhana. Ijinkan aku untuk menjadi manusdia yang lebih egois lagi
dari sekarang. Hanya itu.
“Pergilah bila kamu memang ingin pergi, hiduplah dengan bahagdia, jangan terpaut
pada rasa bersalahmu terhadapku. Jangan meminta maaf lagi, karena aku sudah
memaafkanmu. Tapi..,” kini ganti kalimatku yang mengambang, rasanya sulit
sekali untuk melanjutkan.
Hening menyapa, kami berkelana dalam pikran dan hati masing-masing.
“Tapi... bdiarkan aku tetap mencintaimu,” lanjutku memecah ddiam.
“Nana.. Please..,” nada bicaranya mengisyaratkan bahwa dia tidak menghendaki
hal tersebut.
Tertunduk, aku berkata, “Hanya itu, ya, satu keinginan sederhanaku. Tetap
mencintaimu.”
Karena Tuhan tidak mengijinkanku untuk menjadi manusdia yang lebih egois lagi.
Cukup, sudah cukup. Hanya mencintaimu, egois kah aku bila seperti ini? Tidak.
Karena cinta adalah hak setdiap manusdia, tanpa terkecuali. Dan itu tidak dapat
dipakasakan. Aku tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku, begitu pula
sebaliknya, kamu tidak bisa memaksaku untuk berhenti mencintaimu.
“Kadang, apa yang kita kira tidak berjalan dengan lancar justru terlihat
sempurna dimata sang pencipta. Ya, aku paham, dan aku mengerti,” kataku lebih
kepada diriku sendiri. Mencoba mengusir kepedihan.
“Maaf..,” sambil melepaskan genggaman tangannya dariku, dia mengucapakan
kalimat itu lagi, semoga ini yang terakhir kali.
Kemuddian dia pergi, meninggalkanku bersama secangkir capuccino hangat yang
sudah tidak hangat lagi.