Ini tentang aku dan tiga postingan terakhirku.
Surat untuk Pak Dad itu bukan suratku yang pertama, tapi itu
yang pertama ku ikutkan dalam sebuah lomba. Aku sedukit kecewa, aku terlalu
ceroboh. Sudah sangat jelas bahwa persyaratannya ‘Guru harus berdomisili di
wilayah Bojonegoro’, eh aku mengirim surat untuk guruku yang berdomisili di
Jatirogo-Tuban, hehe. Dan ternyata, Pak Praw (Guru Jurnalistik-ku) merupakan
salah satu juri untuk lomba ini. Menurut beliau, seharusnya suratku ini
mendapat juara dua, tapi karena tidak memenuhi persyaratan, akhirnya dianulir
menjadi surat pilihan. Huh, penyesalan selalu datang diakhir ya.
Selanjutnya, puisi
itu. Yang telah membawaku ke FLS2N tingkat provinsi 2k12. Itu salah satu hal
yang menggembirakanku. Tapi bukan itu yang paling menggembirakan, karena yang
paling menggembirakan adalah ini untuk pertama kalinya Bapak dan Ibuk memuji
tulisanku. Dengan ini, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendukungku
untuk menggeluti dunia tulis-menulis. Tapi sayangnya, saat itu aku gagal di
tingkat Provinsi. Hah, aku menangis saat itu.
Entah beberapa minggu setelah itu, aku bertengkar hebat
dengan Bapak. Ibuk hanya meng-iya-kan Bapak, tidak membelaku. Sedangkan saat
itu, aku tersudut sendirian. Aku hanya ingin berada di kelas Bahasa, itu saja.
Kenapa Bapak harus semarah ini? Bapak ingin aku masuk Ipa. Aku menolak. Kau
tau, sepintar apa pun aku dalam hal berdebat, aku tetap akan kalah jika
berdebat dengan Bapak. Tapi kala itu aku berontak. Dan Bapak memberiku
persyaratan: Jika aku tetap ingin berada di kelas Bahasa atau Ips, aku harus
keluar dari kepengurusan OSIS. Aku tidak bisa melakukan ini. Aku memilih Ipa.
Seperti kata Kugi dalam Perahu Kertas, aku harus berputar,
menjadi orang lain untuk kemudian menjadi diriku sendiri.
Aku mengisi angketku. Pilihan pertama jurusan Bahasa,
pilihan ke dua jurusan Ips. Aku berpikir, orang tuaku tidak akan tahu. tapi
pada akhirnya mereka harus memang harus tahu. Sebelum Ulangan Akhir Semester
Genap tahun lalu, bu Septi, salah satu guru BK di SMAdaBo memanggilku. Saat
itu, aku bertanya-tanya, kesalahan apa yang aku lakukan? Dan ternyata, aku
memang tidak melakukan kesalahan. Beliau hanya memintaku mengganti angket
penjurusan, tahun ini kelas Bahasa akan dihapus karena peminatnya hanya dua orang.
Tidak ada yang bisa ku katakana. Aku menyerah. Aku tidak mungkin keluar dari
kepengurusan OSIS. Ku putuskan untuk menuruti Bapak.
Liburan Semester Genap saat itu, aku mendapat kabar bahwa
aku mendapat juara 3 dalam ajang lomba essai se-Bojonegoro. Hadiahnya lumayan,
1 juta. Orang tuaku tahu, sekarang mereka paham bahwa duniaku memang tulis
menulis, bukan Ipa. Tapi, kenapa saat orang tuaku sudah memahamiku, kelas
bahasa justru ditiadakan?
Kecewa.